Tuesday, August 11, 2020

Keseruan Praktek Kerja Terpadu di Hutan Sagu Momi Waren Kabupaten Manokwari Selatan

 

Engel Claudio Richard Ronaldo Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Papua 
Angkatan 2017 sedang membuat jalur Pengamatan

Manokwari - Berkuliah di bidang ilmu yang dibilang penuh tantangan dan petualangan memilki cerita tersendiri pada saat pelaksanaan praktikum dilapangan, pada kesempatan ini saya berkesempatan mewancarai Laurensia Verina Mapandin, Ewandi Winel Peday dan Engel Claudio Richard Ronaldo Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Papua yang melaksanakan Praktek Kerja Terpadu (PKT) bertempat di hutan sagu Kampung Gaya Baru Distrik Momi Waren Kabupaten Manokwari Selatan, pada Selasa (28/07/2020). Verina dan Wawa serta engel panggilan akrab mereka akan berbagi kisah seputar praktikum di hutan sagu momi waren.

Verina mengungkapkan pengalamannya pertama kali masuk di hutan sagu dimana banyak hal-hal yang menarik di dalam hutan sagu karena ini hal yang pertama sehingga cukup seru, luar biasa dan perasaan campur aduk karena becek dan segala macam serta harus memakai sepatu boot juga. 

"Pokoknya seru, karena kita bisa belajar banyak tentang sagu, mulai dari tingkat semai kalo di sagu dibilang rosed, untuk tingkat pancang kita bilang pohon muda dan juga tingkat selanjutnya adalah pohon dewasa. Pastinya ditiap-tiap jalur yang ada punya pengalaman masing-masing khususnya di jalur 4 di jalurnya kelompoknya saya cukup menyenangkan karena kita bisa benar-benar merasakan bekerjasama dalam kelompok di dalam hutan" ujar Verina.

Hal yang senada disampaikan oleh wawa merupakan pengalaman pertama ke dalam hutan sagu, dimana dari luar kelihatannya biasa-biasa saja, begitu masuk ternyata medannya lumayan karena begitu banyak lumpur, dan saat melakukan inventarisasi ternyata di dalam sana banyak duri-duri sagu, jadi waktu merintis jalam untuk membuat petak-petak itu tidak gampang. Dari PKT di hutan sagu ini, kita dapat pelajaran bisa mengenal jenis sagu dan lebih tahu medan apa saja dalam hutan sagu.

"Hari ini kami mahasiwa Fahutan Kehutanan Unipa angkatan 2017 melaksanakan PKT di hutan sagu, disini kami melakukan inventarisasi sagu dengan plot ukuran 20 m x 20 m dengan base line menggunakan 270 derajat dan untuk jalur setiap plot meggunakan asimuth 360 derajat tanpa jarak antar plot. Ada kriteria dalam penilaian sagu, yaitu anakan, sagu muda dan sagu dewasa atau tua yang sudah memiliki batang buah dan bunga. Untuk saya sendiri inventarisasi sagu ini pengalaman pertama saya dan sensasinya lebih melelahkan dibandingkan dengan hutan-hutan umumnya karena identik dengan lumpur, medan yang basah dan terhalang dari duri-duri sagu. Tetapi secara keseluruhan hari ini cukup baik karena teman-teman semua bisa mencapai target kami yaitu 100 m dengan target 5 plot dan semuanya dapat dicapai oleh teman-teman dari kelompok kami" ungkap Engel. [NM]

Verina dan teman -teman Kelompok 4 sedang melakukan Inventarisasi Hutan Sagu 


Sunday, August 9, 2020

Secarik Catatan Koyak yang Tersimpan di Balik Tegakan Agathis Bariat

Tegakan Hutan Agathis Labilardiery Warb di Hutan Damar Bariat
Tegakan Agathis labilardieri Warb pada Hutan Damar Bariat Distrik Konda Kabupaten Sorong Selatan

Sorong Selatan - Pada masa pemerintahan Belanda, divisi kehutanan atau yang lebih dikenal dengan BOSWEZEN melalui proyeknya yang diberi nama KEREN Proyek, yang bertugas merencanakan pembangunan hutan tanaman yang dapat menghasilkan getah dan kayu. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang ada di sekitar hutan

Dimulai pada tahun 1958, beberapa daerah di West Papua (sekarang Papua dan Papua Barat) ditentukan untuk menjadi sasaran kegiatan, seperti Kabupaten Jayapura bertempat di Sarmi (sekarang Kabupaten Sarmi), Kabupaten Biak bertempat di Biak Timur (Parieri) dan Kabupaten Manokwari bertempat di Distrik Kebar (sekarang Kabupaten Tambrauw) serta Kabupaten Sorong bertempat di Distrik Teminabuan (sekarang Distrik Konda).

Hanya dua jenis pohon yang dipilih sebagai komoditi andalan karena dianggap sesuai dengan tujuan utama dari proyek, yaitu Agathis labilardieri Warb yang ditanam di Kabupaten Sarmi, Biak dan Bariat, sedangkan Araucaria cuninghami di tanam di Kebar.

Sasaran utama dari proyek ini adalah kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan menjadi lebih baik, oleh karena itu keterlibatan masyarakat sekitar hutan sudah dimulai diutamakan sejak awal. Hal ini terbukti dengan adanya perekrutan tenaga kerja lokal untuk dilatih menjadi tenaga kerja terampil di bidang kehutanan. Di antara mereka yang dinilai menunjukkan kinerja baik selanjutnya dikirim ke Selandia Baru untuk mengikuti pelatihan lanjutan sesuai dengan kemampuannya yang dibedakan dalam empat bidang, seperti bidang Survey, Pengumpulan Benih, Pesemaian dan Penanaman. Selanjutnya tenaga terlatih di bidangnya ini ditunjuk sebagai pimpinan kegiatan lapangan di KEREN Proyek.

Hutan Bariat di Distrik Konda dipilih menjadi salah satu lokasi proyek pembangunan hutan tanaman pada waktu itu karena dinilai dari beberapa aspek: Secara ekologis, tanaman yang akan dikembangkan, Agathis labilardieri Warb., telah ada dan tumbuh secara alamiah dengan baik bahkan menurut catatan pengamatan di lapangan pada waktu itu dapat menghasilkan damar sekitar 500 kg/ha/bulan. Secara fisik, dengan mempertimbangkan topografi yang agak datar sampai landai dengan ketinggian 20m sampai 64 m di atas permukaan laut dan luas lahan yang cukup maka pada kawasan ini direncanakan untuk penanaman pohon agathis pada lahan seluas 3800 ha. Dari segi aksesibilitas, lokasi ini dianggap sangat strategis. Oleh karena itu, selain direncanakan sebagai hutan tanaman, kawasan hutan bariat ini juga direncanakan sebagai pusat produksi damar di wilayah kepala burung untuk menampung produksi damar dari hutan alam yang berasal dari sekitarnya seperti di Seremuk, Aifat dan bahkan hutan tanaman Araucaria cuninghami yang direncanakan di Kebar. Dari aspek sosial budaya, proyek bariat ini secara tidak langsung melibatkan masyarakat dari tiga suku besar, Meybrat, Tehit dan Imeko. Di samping terlibat sebagai tenaga kerja, sebagian dari mereka juga datang untuk menjual hasil damar mereka.

KEREN Proyek Bariat yang dipimpin oleh Bowman dan ketua kelompok penelitinya Hansen, dimulai setelah kepala klen Afsia/Bariat (salah satu klen dari suku Tehit), Policarpus Kareth, menyerahkan hak adat atas lahan hutan tanaman agathis pada tahun 1958 kepada Pemerintah Belanda atas kesepakatan seluruh masyarakat adat Afsia/Bariat. Kawasan ini kemudian oleh pemerintah belanda dinamakan Resort Pemangku Hutan (RPH) Bariat. Pada tahun itu juga segera dibangun sarana prasarana proyek seperti, jalan yang menghubungkan lokasi proyek dengan Teminabuan dan jalan-jalan penghubung pusat kegiatan di lokasi proyek (sekarang disebut Jalan BosWezen/Jalan Bariat), Base Camp di Menye (terdiri dari perkantoran, gudang penampung damar, dan tempat tinggal karyawan) dan Pelabuhan Kapal di Menye untuk mengekspor hasil damar. Base Camp di bangun di Menye karena belum ada pemukiman masyarakat seperti saat ini di Kampung Bariat dan Manelek. Masyarakat adat afsia masih bermukim bersamaan dengan masyarakat adat lainnya di Kampung Konda.

Pada tahun 1959, KEREN Proyek dimulai kegiatan clearing atau pembukaan lahan dan pembuatan pesemaian hutan tanaman agathis secara bertahap sesuai dengan kemampuan tenaga kerja pada saat itu. Kegiatan ini melibatkan banyak tenaga kerja sehingga banyak dari mereka yang datang dari Teminabuan, Kais, Ayamaru, Aifat, Aitinyo, Makaroro dan Mare untuk bekerja di proyek ini sebagai karyawan lepas. Sebagai karyawan lepas mereka membuat pemukiman sementara di luar lokasi proyek. Lokasi pemukiman ini terus berkembang hingga terbentuk suatu kampung yang saat ini dikenal dengan nama kampung Manelek.

Di samping mempersiapkan pembangunan hutan tanaman agathis bariat, proyek ini juga telah memfasilitasi pemasaran hasil damar dari beberapa tempat disekitarnya selain dari kawasan hutan bariat sendiri, seperti dari Ayawasi-Aifat dan Seremuk. Bahkan menurut penuturan masyarakat, pemerintah belanda menyediakan pesawat sejenis cesna sebagai sarana transportasi hasil damar dari Ayawasi ke Teminabuan dan selanjutnya diangkut ke Menye. Sebelumnya masyarakat memikul hasil sadapan mengikuti jalan setapak melalui Bogaraga (sekarang Waigo) dan selanjutnya ke Menye.

Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola keuangan, pemerintah belanda memfasilitasi berdirinya sebuah koperasi masyarakat yang diberi nama “Koperasi WNB”. Nama koperasi ini berasal dari kata W = Weta, N = Nakin dan B = Brat. Weta artinya anggota koperasi yang berasal dari Aitinyo dan Makaroro (sekarang distrik Aifat Timur), Nakin artinya mereka yang datang dari Kais (sekarang distrik Kais) dan Brat artinya mereka yang datang dari Ayamaru, Aifat dan Mare (sekarang distrik Ayamaru, Ayamaru Utara, Mare dan Aifat).

Kopal Damar
Kopal Damar
Sejak tahun 1963, proyek ini tidak dapat berjalan lagi karena pemerintah belanda harus melepaskan wilayah papua ke pangkuan Negara Republik Indonesia. Segala aset yang ada diserahkan ke Pemerintah Republik Indonesia dan dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Irian Barat.

Adalah seorang karyawan RPH Bariat yang bekerja di dua masa pemerintahan negara, bapak Tigore menuturkan beberapa pengalamannya bekerja di hutan tanaman agathis. Beliau memulai karirnya di bidang kehutanan sebelum tahun 1954 di Biak (KEREN Proyek Parieri). Sebagai karyawan yang dianggap terampil setelah mengikuti pelatihan di Selandia Baru, sejak tahun 1954 bapak asal Kais ini dipercayakan sebagai pemimpin lapangan di KEREN Proyek Sorong yang meliputi beberapa lokasi seperti Aifat, Ayamaru, Bariat dan Seremuk yang berkedudukan di Ayamaru. Sejak tahun 1958, KEREN Proyek Bariat dimulai, bapak Tigore dipindahkan ke wilayah ini untuk membina masyarakat adat. Mereka diberi pelatihan cara menentukan pohon induk, memanen buah untuk benih, dan pemeliharaan lantai tanaman hutan agathis. Sejak jaman TRIKORA (Republik Indonesia mengambil alih permerintahan di Papua, 1963) RPH Bariat yang berkedudukan di Menye, dipindahkan ke Manelek (sekarang kampung Manelek) dengan pertimbangan kemudahan aksesibilitas. 

Pada saat itu beliau masih terus aktif menjaga kelangsungan dari hutan agathis di Bariat. Hal ini memacu pertumbuhan pemukiman di Manelek yang cukup menyediakan fasilitas sosial yang memadai seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan kerohanian. Dengan mempertimbangkan kemudahan-kemudahan ini, masyarakat adat bariat yang tadinya tinggal di wilayah konda, nakna dan manelek mulai memanfaatkan wilayah adat mereka, yang sebelumnya hanya sebagai tempat mencari makan, untuk dijadikan tempat tinggal atau kampung hingga sekarang kampung ini dikenal dengan nama ”Kampung Bariat”. Begitulah, bapak yang aktif di RPH Bariat hingga pensiun tahun 1966, mengisahkan berdirinya Kampung Bariat yang saat ini menjadi tetangga Kampung Manelek tempat bapak Tigore menyisahkan masa tuanya bersama istri dan anak-anaknya.

Selain itu, menurut penuturan beberapa masyarakat sebagai pelaku sejarah, proyek ini telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat baik kemampuan profesional di bidang pengelolaan hutan maupun di bidang ekonomi. Hal ini terbukti dari beberapa putra asli Bariat seperti Alm. Dominggus Kareth anak dari Policarpus Kareth yang dipercayakan untuk bekerja di Lembaga Penelitian Pertanian di Amban Manokwari. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia lembaga ini berubah nama menjadi LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian Manokwari) dan sejak tahun 1964 diserahkan kepada Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan (FPPK) Universitas Cenderawasih Manokwari dan pada tahun 2000 telah resmi menjadi Universitas Negeri Papua sekarang bernama Universitas Papua

Bapak Silas Saa, BSc,mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan, merupakan buah karya dari proyek ini. Menurut penuturan beliau, orang tua dan kerabatnya juga terlibat saat proyek ini masih aktif. Setelah mengunjungi kerabatnya yang bekerja dan tinggal di Manelek, beliau merasa tertarik untuk menggeluti bidang kehutanan dan akhirnya beliau memutuskan untuk melanjutkan studi di Jurusan Kehutanan FPPK Universitas Cenderawasih. Dan masih banyak lagi putra asli dari wilayah ini yang tidak dapat diceritakan satu per satu yang boleh berhasil saat ini dengan adanya kegiatan di Kawasan Hutan Bariat pada masa pemerintahan belanda.

Sejalan dengan waktu, berbeda pengambil kebijakan berbeda pula wajah dari kawasan hutan ini, kalau dulu Ia dapat menjanjikan senyum manis sekarang apakah ada tetesan air mata pertanda kesedihan yang ditampakkan kepada pemiliknya? jawabnya tidak, karena Ia masih menyimpan paras cantiknya di balik cadar kebijakan yang ada sekarang. Tantangan bagi kita sebagai ilmuwan dan para pengambil kebijakan untuk mampu membuka cadar kebijakan yang ada sekarang agar paras cantiknya dapat tersenyum manis lagi.

Ucapan terima kasih kepada bapak Kareth (Kepala Kampung Bariat), Bapak Tigore (Pensiunan RPH Bariat) dan Bapak Silas Saa (Mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan) yang sudah sekian lama menyimpan secarik catatan koyak ini. [NM]

Friday, August 7, 2020

Mengembalikan Kejayaan Sagu di Ekosistem Alamiahnya, Mahasiswa Fahutan Unipa melakukan PKT di Hutan Sagu Momi Waren - Manokwari Selatan

Manokwari -  Untuk mengembalikan kejayaan hutan sagu di ekosistem alamiahnya. Pada kali ini, Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Papua melaksanakan Praktek Kerja Terpadu (PKT) bertempat di hutan sagu Kampung  Gaya Baru Distrik Momi Waren Kabupaten Manokwari Selatan, pada Selasa (28/07/2020).

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni serta Dosen Ekologi Hutan pada Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Jimmy F. Wanma, S.Hut.,M.App.Sc menyampaikan bahwa PKT yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kehutanan dilakukan di Laboratorium Biologi dan Perlindungan Hutan, dengan konsep praktek kali ini terbagi dalam dua tim. Ada satu tim bekerja dengan biodiversitas yaitu dengan melihat variasi dari pada tanaman sagu mulai dari duri, buah daun dan sebagainya dan kemudian ada satu tim melihat potensi dari hutan sagu yang ada dengan mengukur rumpun, diameter dan jumlah tegakan sagu yang ada disini. 

"Pendekatan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiwa Fakultas Kehutanan terhadap keanekaragaman hutan sagu yang kita miliki di Papua kemudian juga memberikan mereka sekaligus pengalaman lapangan tentang bagaimana mengumpulkan data bioderversitas maupun mengumpulkan data potensi dilapangan. Dua praktikum ini berjalan sekaligus diharapkan mahasiswa mempunyai pengalaman yang cukup tentang bagaimana melihat keanekaragaman hayati sekaligus menilai potensi yang terdapat di hutan sagu yang kita miliki" kata Jimmy.

Dosen Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Papua menambahkan kita menggunakan pendekatan hutan sagu momi waren karena saat ini paling terdekat dan hutan yang masih bagus yang berada di sekitar sini, kalo di Papua Barat secara umum Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Bintuni yang memiliki hutan sagu yang banyak tetapi untuk keperluan praktikum mahasiwa kami pikir daerah sini sudah sangat representatif untuk praktikum.

Selain Wakil Dekan Bidang Kemahasiwaan dan Alumni hal lain yang disampaikan oleh Kepala Laboratorium Biologi dan Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Dr. Ir. Nurhaida Sinaga, M.Si bahwa kami sengaja membawa anak-anak kami ke hutan sagu supaya mereka mengenal hutan sagu yang ada di Papua seperti apa dan mereka bisa melihat keanekaragaman hayati yang ada di dalam dan ekologinya. Karena luas hutan sagu di Papua hampir 85% dari hutan sagu di seluruh dunia tetapi riset-riset sagu di Papua sampai sekarang ini tidak terlalu banyak, jadi kami sedang kembalikan supaya ada banyak riset-riset yang bisa dilakukan sehingga hal-hal yang masih belum kita ketahui tentang sagu bisa diunggapkan.

"Seperti hari ini  ketika kita masuk di lokasi hutan sagu di momi waren kita menemukan memang semua jenis sagu berduri tapi kita bisa dapat hampir 20 varietas dari sagu berduri yang ada disini. Tiap kelompok dari 5 kelompok bisa mendapatkan 4 sampai dengan 5 varietas, itu juga belum kita masuk semua kedalam itu hanya menjadi pengalaman bagi mereka untuk nanti ketika mereka bekerja atau mereka terlibat dalam penelitian kedepan mereka bisa mengungkapkan lebih lagi tentang keanekaragaman sagu yang ada dan ini berguna untuk ilmu pengetahuan ataupun akan dikembangkan untuk penelitian selanjutnya. Karena persoalan dalam masalah sagu itu adalah varietas. varietas yang digunakan berbeda-beda itu akan mempengaruhi produk akhir dari sagu, tetapi jika kita sudah mengenal varietas kita bisa tahu varietas apa yang digunakan sehingga produk itu bisa lebih seragam, ujar  Nurhaida Sinaga. [NM]