|
Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel)
|
Sorong Selatan - Masyarakat adat Papua adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari lebih kurang 250 bahasa (Mansoben, 1994 dalam P3FED, 2002). Dua kelompok bahasa utama dalam masyarakat adat yaitu rumpun bahasa Austronesia dan non-Austronesia, yang membagi dua wilayah pulau Papua, yaitu Waropen, Wandamen, Biak, Ambai dan Tobati yang merupakan penduduk pantai dan kepulauan, dan mewakili kelompok non-Austronesia yaitu Dani, Sentani, Mee, Muyu, Asmat dan Meybrat, yang mewakili daerah pegunungan dan rawa.
Ditinjau dari aspek struktur sosial, maka terdapat tiga sistem kekerabatan, yaitu:
- Patrineal, yaitu sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ayah (marga), yang diwakili oleh suku Asmat, Sentani, Biak, Waropen, Meybrat dan Dani.
- Bilateral, yaitu sistem kekerabatan yang bisa mengikuti garis ayah atau garis ibu, yang diwakili oleh suku di sekitar Sarmi.
- Ambilineal, yaitu sistem kekerabatan, dimana keluarga dapat memilih ikut garis ayah atau garis ibu
Berdasarkan sistem kekerabatan tersebut, maka pada masyarakat adat Papua terdapat tiga sistem kepemimpinan tradisional, yaitu berdasar warisan, upaya pribadi dan gabungan.
Sekalipun tipe kepemimpinan bervariasi antara satu suku dengan suku lain, namun mereka sebenarnya mempunyai tugas yang sama, yakni melindungi komunitas adatnya dari serangan komunitas luar, mengatur tata kehidupan dalam komunitasnya dan menyelesaikan konflik antar anggota masyarakat, antar kelompok marga. (Koentjoroningrat, 1994 dalam Tokede dkk, 2005).
Tipe kepemimpinan masyarakat adat secara struktural terletak pada kepala marga/klan dari suatu suku tertentu. Kepala suku yang ada pada saat ini telah terpolarisasi oleh perubahan dimensi sosial politik di wilayah Papua. Kepala Suku/Pria Berwibawa awalnya merupakan tokoh penting atau orang pintar diantara marga-marga yang tergabung dalam suku tertentu. Mereka dianggap sebagai tetua adat yang berfungsi sebagai mediator dalam perundingan dan penyelesaian konflik baik antar marga maupun antar suku. Kepala suku juga berperan dalam melakukan kontak dengan pihak luar atau kelompok suku lain, bahkan dapat menjadi alat penyalur aspirasi anggota komunitas adatnya.
Kepemimpinan tradisional masyarakat adat di Papua adalah kepemimpinan individualistik yang pewarisannya berdasarkan garis keturunan, pria berwibawa atau gabungan keduanya. Hirarki kekuasaan terletak pada kepala marga dari suatu marga yang hidup dalam wilayah hukum adat tertentu serta mempunyai wilayah teritorial tertentu yang berbatasan dengan marga lain. Kepemilikan lahan dan sumberdaya adalah kepemilikan bersama (komunal) dan kewenangan pengaturan terletak kepada kepala marga. Kepala marga berperan sebagai pemimpin kelompok marga dan merupakan penerima mandat kewenangan dari orang tua.
Kelembagaan tradisionil pada awalnya sangat sederhana karena unit terkecil dari kelompok marga adalah rumah tangga. Kepala keluarga berperan sebagai pengambil kebijakan dan pemimpin dari keluarga. Ibu adalah pembantu kepala keluarga dalam melaksanakan tugasnya. Setiap anggota dalam keluarga mempunyai tugas-tugas sesuai dengan kesepakatan bersama dalam keluarga. Kelompok marga merupakan kumpulan dari beberapa keluarga-keluarga dalam satu marga/klan yang memiliki wilayah teritorial tertentu berdasarkan warisan turun-temurun. Masing individu dan keluarga dalam kelompok marga merupakan unit-unit organisasi yang saling tunjang satu dengan lainnya. Kepala marga berperan sebagai manager dan sekaligus sebagai fasilitator dalam mengatur, mengawasi dan mengevaluasi setiap anggota marganya sebagai satu unit kerja organisasi kelompok marganya.
Struktur kelembagaan ini dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan berada pada kepala Marga. Semua anggota marga adalah satu kesatuan komunitas yang mempunyai hak dan kewajiban serta peran dan fungsi yang sama dalam menunjang kelangsungan hidup kelompok marga bersangkutan dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.
Pada saat Injil telah masuk di Tanah Papua, kepemimpinan kelembagaan adat mulai berkembang. Tokoh gereja memiliki peran dan kedudukan yang sama dengan kepala marga atau suku dalam suatu komunitas adat. Tokoh agama telah melakukan transformasi sosial dalam kehidupan sosial. Interaksi antar kelompok marga, antar kelompok suku telah dapat disatukan. Penyelesaian sengketa adat tidak lagi diselesaikan dengan perang, melainkan secara damai. Gereja telah memainkan peran dalam perubahan kelembagaan komunitas adat di wilayah ini. Gereja telah berperan sebagai fasilitator dan juga pengawas dalam kehidupan sosial komunitas adat tertentu.
Tokoh gereja lebih berperan dalam hal mengatur dan mengawasi perilaku sosial andividu dalam kelompok marga bersangkutan atau atar kelompok marga. Tokoh gereja tidak menginterfensi pewarisan hak kepemilikan dan penguasaan tanah, dan masih dipegang oleh kepala marga atau kepala suku.
Pada zaman pemerintahan Belanda, struktur kepemimpinan dan kelembagaan komunitas adat mulai terpengaruh oleh bentuk pemerintahan yang dianut. Pembentukan kampung sebagai suatu bentuk pemukiman kelompok marga merupakan awal legitimasi kelembagaan adat oleh pemerintah. Pemerintah Belanda masih menghargai tatanan struktur kepemimpinan dalam kelembagaan adat. Namun beberapa kepala marga/klan (dusun) tidak bersedia bergabung dengan sistem pemerintahan Belanda. Pemerintah mencoba dengan menunjuk tokoh penting dalam kelompok suku sebagai kepala Kampung (Koranu). Kepala kampung berfungsi sebagai fasilitator antara satu marga dengan marga lainnya dan juga sebagai mediator dengan pihak pemerintah Belanda dalam hal pemerintahan. Kewenangan adat kepala marga/klan tetap terpelihara, hanya dibatasi oleh bayangan semu penguasaan wilayah teritorial kampung. Pola penggabungan kelompok marga menurut unit pemukiman masyarakat adat menjadi satu wilayah pemerintahan kampung menjadi sumber konflik. Kampung menurut masyarakat adat tidak diakui dan Kepala Kampung (Koranu) yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda tidak diakui keberadaannya oleh kepala marga. Pada saat inilah terjadi transformasi sosial dalam hal kepemilikan sumberdaya alam. Pemerintah mulai mengambil alih hak pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam dari kelompok marga komunitas adat.
Pada saat itu, mulai terjadi pembentukan kelompok marga ekslusif dan sifat primodialisme kelompok marga mulai terpelihara. Kelompok marga/suku yang kooperatif dengan pemerintah belanda merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dengan saudaranya yang lain yang tidak kooperatif.
Pada zaman pemerintahan Republik Indonesia hingga otonomi khusus sekarang ini, kebijakan pemerintah adalah membentuk kampung – kampung induk. Pembentukan kampung induk dan pembentukan wilayah pemukiman baru dengan dalih untuk membuka isolasi guna mempermudah pelayanan dan pemerataan pembangunan. Dengan model demikian, maka terjadilah perubahan status kepemilikan wilayah teritorial suatu marga kepada marga lain bahkan telah terjadi perselisihan diantara marga. Hal ini terjadi karena sesuai dengan pola kepemilikan dan penguasaan lahan, hak adat masih berada pada marga asli.
Kepala Kampung adalah pemegang dan pengendali kekuasaan pemerintahan dan tidak ada kewenangan kekuaasaan lain di kampung. Peranan kepala marga dan tokoh gereja mulai terkucilkan dan diganti dengan kepala Kampung. Untuk mengakomodir tuntutan komunitas adat, pemerintah membentuk Lembaga Masyarakat Desa (LMD) atau Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). LMD/LKMD merupakan badan perwakilan masyarakat untuk melengkapi struktur pemerintahan Desa/Kampung.
Gambar 4.6. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa/Kampung
Pada era desentralisasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam pemerintahan dan masyarakat. Pemerintah melalui Otonomi Khusus mengisyaratkan pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Namun dalam penjalanannya masyarakat adat terpolarisasi dengan berbagai macam intervensi politik dan inovasi yang menyebabkan kelembagaan adat semakin tenggelam. Nilai-nilai moral dan religi kepemimpinan adat telah terkikis dan semakin melemah. Interaksi dengan masyarakat luar dan gencarnya advoksi berbagai pihak semakin memperlemah kewibawaan kepemimpinan dan nilai-nilai adat masyarakat hukum adat di wilayah ini. Pembentukan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) di tahun 1980an, perannya tidak lebih hanya mendukung kepentingan pemerintah semata. Pada tahun 1990an, atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menfasilitasi pembentukan Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA). Tujuan pembentukan DPMA adalah untuk kepentingan penguatan masyarakat adat. Namun DPMA yang dibentuk hanya sebatas di sekitar Jayapura. Hingga pada akhir tahun 2001, dibentuk pula Dewan Adat yang pendiriannya oleh Presidium Dewan Papua dengan maksud untuk memperjuangan kebutuhan dasar masyarakat adat Papua, yaitu perlindungan dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat adat. P3FED (2002), melaporkan bahwa perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat mencakup :
- Perlindungan dalam bentuk legalisasi terhadap sistem pemerintahan adat/kampung untuk kepentingan perlindungan dan kesejahteraan rakyat, terutama terkait dengan pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam.
- Perlindungan dalam bentuk legalisasi tehadap hak-hak kepemilikan tanah dan hutan dalam wilayah hukum masyarakat adat di Tanah Papua. Pengakuan dan Penghargaan terhadap hak-hak penduduk asli guna mengelola sumberdaya alam.
- Perlindungan dalam bentuk legalisasi terhadap hubungan fiskal antara sistem pemerintahan adat di kampung dengan distrik untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan adat di Kampung.
Pengalaman perjalanan peradaban masyarakat adat di wilayah ini, bahwa dalam melaksanakan paradigma Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat adat, kelembagaannya tidak cukup hanya berpedoman pada kelembagaan adat semata, tetapi harus melibatkan stakeholders lain, yaitu pemerintah dan Agama. Pada tatanannya kewenangan pengelolaan sumberdaya alam terletak pada masyarakat hukum adat, sedangkan pemerintah dan agama kewenangan dalam hal mengatur, memotivasi, memfasilitasi dan mengontrol pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat.Di Kampung Bariat, terdapat kurang lebih 6 lembaga bentukan pemerintah yang ada, seperti Pemerintah kampung, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), , Agama (GKI), Lembaga Adat, Pos Yandu/Polindes/Puskesmas dan Kelompok Seni Budaya. Dari lembaga-lembaga ini, hanya 3 (tiga) lembaga yang mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat, yaitu Lembaga Adat, Gereja dan Pemerintahan Kampung karena ketiga lembaga ini yang memiliki kekuatan-kekuatan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat kampung serta memiliki andil yang besar dalam memberi kehidupan, mengayomi dan mempersatukan masyarakat. Lembaga lain seperti, Pendidikan SD, Pos Yandu, Polindes telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dengan keterbatasan yang ada. Sedangkan lembaga lainnya hanya lebih bersifat situasional saja ketika ada program dari luar untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Juga dijelaskan bahwa lembaga ekonomi yang ada di kampung adalah lembaga yang dibentuk oleh Dinas terkait atau LSM yang bergerak di bidang Ekonomi seperti, Kelompok Tani, dan Koperasi. Dalam perkembangannya lembaga ekonomi ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena keterbatasan kemampuan manajerial dari sumberdaya manusia yang ada di kampung. [NM]