Wednesday, April 7, 2021

Pemeriksaan Proses Pengeringan Tepung Sagu oleh tim Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan (Foto : Acha)

Koperasi Wana Lestari binaan KPHP Sorong Selatan Mengurus Perizinan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), Ijin Edar BPOM dan Sertifikat Halal MUI

Teminabuan - Beragam cara dapat dilakukan seseorang untuk menjalankan usahanya, termasuk di antaranya adalah dengan menjalankan usahanya di rumah (usaha rumahan) atau disebut juga dengan industri rumah tangga. Koperasi Wana Lestari binaan KPHP Sorong Selatan mengurus Perizinan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) di Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan yang dilaksanakan pada hari Kamis (08/04/2021).

Bisnis rumahan dapat dikategorikan sebagai usaha kecil dan menengah (UKM). Sistem bisnis ini kian berkembang dan menjadi salah satu penunjang dalam roda perekonomian masyarakat. Banyak keuntungan yang didapat pelaku usaha jika menjalankan bisnisnya dengan cara rumahan. Misalnya, bisa meminimalisasi anggaran sewa tempat, mengefektifkan anggaran modal, juga bisa juga lebih banyak waktu, akan tetapi, ada syarat yang harus dimiliki jika seseorang hendak menjalankan usaha di rumah atau industri rumahan, yaitu mengurus perizinan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), terutama untuk produk jenis makanan atau minuman.

Tentu saja pengurusan izin ini penting karena sebagai jaminan atau bukti bahwa usaha makanan-minuman rumahan yang dijual memenuhi standar produk pangan yang berlaku. Jika pelaku usaha memiliki izin PIRT, mereka bisa dengan tenang mengedarkan dan memproduksi secara luas dengan resmi.

Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat SPP-IRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh bupati/wali kota terhadap pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan pemberian SPP-IRT dalam rangka peredaran pangan produksi IRTP.

Pemeriksaan Peralatan, SOP dan Prosedur Pengolahan (Foto : Acha)

SPP-IRT diterbitkan oleh Bupati melalui Dinas Kesehatan di Unit Pelayann Terpadu Satu Pintu tiap daerah. SPP-IRT diberikan kepada IRTP yang memenuhi persyaratan yang berlaku paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang melalui permohonan SPP-IRT.

Koperasi Wana Lestari binaan KPHP Sorong Selatan melakukan pengurusan Perizinan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) di Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan dan Dinas  PTSP Kabupaten Sorong Selatan. Pada hari ini (08/04/2021) Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan melakukan kunjungan ke Kantor KPHP Sorong Selatan sebagai home base Koperasi Wana lestari untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian terhadap produk Tepung Sagu dan Teh Sarang Semut hasil produksi Koperasi Wana Lestari untuk dialkukan pengujian untuk mendapatkan Perizinan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).

Kepala KPHP Sorong Selatan, Reynold Kesaulija, S.Hut.,M.Si menyampaikan bahwa tahun 2021 KPHP Sorong Selatan bersama Koperasi Wana Lestari akan melakukan pengurusan perijinan untuk 4 produk Hasil Hutan Bukan Kayu yaitu Tepung Sagu, Teh Sarang Semut, Teh Gaharu dan Minyak Aromaterapi Lawang. Proses Perizinan PIRT di Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan di Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu serta melakukan pengujian di Badan Pengawas Obat dan Makanan di Manokwari untuk mendapatkan ijin edar serta mengurus sertifikat halal di MUI Provinsi Papua Barat di Manokwari. [NM]

Foto Bersama bersama tim Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan (Foto : Acha)




Wednesday, November 11, 2020

ECONUSA menyelenggarakan Bimtek Peningkatan Kapasitas SDM KPH Se-Tanah Papua

Peserta Bimtek Peningkatan Kapasitas SDM KPH se-Tanah Papua bersama Narasumber (foto : Reynold)

Jayapura - Bimbingan Teknik Peningkatan Kapasitas SDM KPH se-Tanah Papua untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi personel KPH dalam menyusun dokumen RPHJP yang mampu dilaksanakan di tingkat tapak di wilayah kelola KPH dan juga bisa mengidentifikasi potensi jasa lingkungan/HHBK yang menjadi komoditi prioritas yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi unit bisnis dengan pola kemitraan bersama masyarakat, yang diselenggarakan oleh Yayasan Econusa bekerjasama dengan KPHL Biak Numfor di Hotel Asana Biak, Senin (02/11/2020).

Ardiyanto Ariosono,M.Sc Provecial Koordinator Econusa Provinsi Papua, menyampaikan kegiatan Bimbingan teknik Peningkatan Kapasitas SDM KPH se-Tanah Papua dilaksanakan selama 3 hari dimulai dari tanggal 2 s.d 4 November 2020 dimana 2 hari di kelas dan 1 hari kunjungan lapangan, kegiatan ini diikuti oleh  dari 17 KPH se-Tanah Papua, 14 KPH dari Provinsi Papua dan 3 KPH dari Provinsi Papua Barat. 

"Yayasan Econusa adalah organisasi nirlaba yang bertujuan mengangkat pengelolaan sumberdaya alam dengan memberi penguatan terhadap inisiatif-inisiatif lokal agar hutan tropik di Indonesia timur täta dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sampái masa mendatang. Econusa sendiri menjembatani komunikasi antar pemangku kepentingan di wilayah Indonesia timur tanah papua dan maluku dan menjembatani komunikasi dari provinsi sampai nasional untuk mewujudkan pengelolan hutan tropis yang tersisa karena papua sebagai benteng terakhir hutan tropis Indonesia. Econusa juga mempromosikan nilai-nilai pengelolaan lestari dan konsenterasi sumberdaya alam kepada para pembuat kebijakan baik ditingkat daerah maupun nasional" ujar Ardiyanto.

Ardiyanto menjelaskan  bahwa kegiatan bimtek ini diharapkan dapat menjawab tantangan dan kebutuhan setiap KPH yang ada dalam pengelolaan kawasan hutan dengan memperhatikan isu-isu hambatan dan tantangan yang dihadapi langsung dilapangan di wilayah KPH khususnya di Tanah Papua. 

"Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi personel KPH dalam menyusun dokumen RPHJP yang mampu dilaksanakan di tingkat tapak di wilayah kelola KPH yang bersangkutan juga bisa mengidentifikasi potensi jasa lingkungan/HHBK yang menjadi komoditi prioritas di wilayah KPH yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi unit bisnis dengan pola kemitraan bersama masyarakat, sehingga bimtek ini diharapkan adanya revisi atau penyusunan RPHJP secara kongkrit pada kebutuhan prioritas yang dijalankan" kata Ardiyanto. [NM]



Wednesday, October 14, 2020

Seri 4 Hutan Adat Bariat : Hak Kepemilikan dan Penguasaan Suatu Wilayah Adat

Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel)

Sorong Selatan
- Hak kepemilikan dan penguasaan suatu wilayah adat, menurut Mansoben (2002), terdiri atas tiga kelompok, yaitu hak komunal berdasarkan gabungan klen, hak komunal menurut klen dan hak individual. Hak kumunal berdasarkan gabungan klen, pengaturan pemanfaatan diatur oleh kepala komunitas seperti Ondoafi dan dibantu oleh pembantu kepala (Khoselo). Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan ini dianut oleh suku-suku di daerah Sentani dan Genyem. Hak kepemilikan komunal berdasarkan klen, pengaturan pemanfaatan diatur oleh kepala klen, yaitu oleh anak laki-laki sulung pendiri klen dan bersifat pewarisan. Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan ini berlaku bagi suku-suku di wilayah Biak, Waropen, Dani, Meybrat, Sumuri, Wamesa, Asmat dan lain-lain. Hak kepemilikan individual dianut oleh suku Mee dan Auwyu.

Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan dan sumberdaya alam di Papua sebagian besar menganut hak kepemilikan komunal berdasarkan gabungan klen dan berdasarkan klen. Kedua pola kepemilikan dan penguasaan lahan tersebut diperoleh melalui dua proses. Patay (2005), menyebutkan bahwa di Papua sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas masyarakat adat (Komunal menurut gabungan Klen) dan kelompok marga (Komunal menurut klen). Pada sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas adat mengganggap bahwa tanah, hutan dan air merupakan milik masyarakat adat yang diatur oleh pemimpin adat berdasarkan aturan adat yang dianutnya. Pada sistem pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam kelompok marga mengangap bahwa tanah, hutan dan air adalah milik marga yang diwariskan turun-temurun pada suatu marga (klan). Sistem pemilikan tersebut menunjukkan bahwa ada dua tipe perolehan kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam di Papua, yaitu (1) berdasarkan penemuan pertama suatu wilayah oleh suku/marga tertentu dan (2) berdasarkan pewarisan kepada keturunan atau hibah. 

Mampioper (2002) dalam Patay (2005), menjelaskan bahwa suku atau marga yang pertama kali datang dan bermukim di suatu tempat dengan seluruh wilayah yang dijelajahinya menjadi milik suku/marga pemukim pertama tersebut. Mereka memiliki hak atas tanah dan seluruh sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Kelompok suku atau marga lain yang datang kemudian dan bermukim bersama pemukim pertama dapat memanfaatkan tanah berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh pemukim pertama. Hak kepemilikan diperoleh melalui warisan, umumnya hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam diturunkan kepada anak laki-laki tertua. Pola ini hampir berlaku bagi seluruh suku yang ada di Papua termasuk wilayah kepala burung. Namun pada beberapa suku menurut Kuntjoroningrat (1996) pewarisan mengandung hukum ambilineal, yaitu anak laki-laki berhak atas tanah atau dusun milik ayah atau ibunya. 

Seperti halnya dalam kepemimpinan adat, hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam yang saat ini berlaku adalah pola perwarisan kepada anak laki-laki tertua melalui hukum Patrineal dan Ambilineal. Anak laki-laki tertua inilah yang akan menjadi ketua marga dan mengatur pembagian dan pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yang tersedia untuk keperluan hidupnya terutama untuk kegiatan meramu (ekstrasi sumberdaya alam) maupun pemanfaatan untuk kegiatan perladangan.

Dalam rangka pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adat, hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam dapat dipetakan secara partisipatif bersama masyarakat sampai pada tingkat marga. Peta tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya masyarakat adat. [NM]

Tuesday, October 13, 2020

Seri 2 Hutan Adat Bariat : Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat Adat

Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel)

Sorong Selatan 
- Berdasarkan nilai adat yang dianut oleh masyarakat adat Papua pada umumnya, khususnya masyarakat adat yang berada di Kampung Bariat, bahwa lahan ataupun hutan memiliki nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai budaya (religius) yang sangat dijunjung tinggi. 

Patay (2005), menguraikan nilai atau fungsi hutan menurut pandangan masyarakat adat sebagai berikut :
  1. Nilai ekonomi: hutan sebagai sumber hewan buruan, sebagai tempat bercocok tanam, sebagai tempat mengambil kayu, buah-buahan, biji-bijian dan sayur-sayuran dan sebagai sumber tumbuhan obat. Hasil hutan tersebut dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup dan sumber keuangan rumah tangga.
  2. Nilai sosial: hutan sebagai sarana pengikat hubungan sosial antar warga dalam satu suku maupun antar suku. Sebagai instrumen untuk mengukur status sosial seseorang atau komunal dalam satu marga atau klan atau suku.
  3. Nilai budaya dan adat: hutan sebagai tempat untuk upacara keagamaan dan upacara adat terkait dengan pemujaan terhadap leluhur yang dibuktikan dengan adanya tempat keramat, tempat pamali yang dipercayai dan dihormati oleh anggota suatu suku atau antar suku. Tempat-tempat tertentu di dalam hutan yang dianggap memiliki nilai religius atau ritual adalah mata air, gua, pohon-pohon tertentu yang dalam budayanya harus dijaga dan dilindungi.
Mereka secara adat beranggapan bahwa tanah dan hutan bagaikan “ibu kandung” yang dapat memberi makan anak-anaknya. Berdasarkan nilai adat tersebut tanah tidak dapat diperjual-belikan, karena jika mereka menjualnya sama halnya dengan menjual ibu kandungnya. Demikian pula dengan hutan, orang luar tidak boleh dengan sembarangan masuk untuk merusak hutan tanpa seizin kepala suku atau kepala marga, mereka akan marah karena menganggap datang untuk membunuh ibu kandung mereka. 

Masyarakat adat memandang bahwa tanah dan hutan merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan masyarakat adat akan tanah merupakan suatu proses yang berkembang dari diri mereka sebagai pemilik adat. Tanah telah dianggap sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan komunitas adat mereka. Karenanya komunitas adat (Suku/Marga) selalu berusaha untuk memiliki tanah seluas-luasnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Masyarakat Papua umumnya hidup di dalam dan di sekitar hutan. Secara tradisionil mereka menerapkan praktek-praktek pengelolaan hutan melalui kearifan tradisional yang didalamnya mengandung aspek-aspek konservasi. Hutan bagi masyarakat adat Papua telah berkembang dan menyatu dengan sistem sosial budaya yang dianut. Mereka menerapkan kearifan tradisional yang dipercaya dapat mempertahankan hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Hutan tidak lagi dianggap hanya sekedar memberi nilai ekonomi, tetapi juga memiliki nilai sosial budaya. Fungsi hutan menurut pandangan adat di Papua dideskripsikan sebagai berikut 

1. Hutan sebagai fungsi Ekonomi 

Sumber satwa buruan, sumber sayuran, sumber buah-buahan, sumber biji-bijian, obat-obatan, dan kayu untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual

2. Hutan sebagai fungsi Sosial 

Sebagai pengikat kekerabatan antar marga dalam satu suku maupun antara suku; sebagai instrumen penentu status sosial seseorang, marga/klan dan suku tertentu

3. Hutan sebagai fungsi Budaya/religius 

Sebagai tempat keramat yang dihormati dan dipercayai anggota suatu suku; tempat ini harus dilindungi karena bernilai ritual (tempat upacara adat); sebagai tempat melangsungkan keturunan (beberapa suku tertentu).

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, diketahui bahwa tingkat ketergantungan masyarakat adat di Kampung Bariat terhadap hutan sangat tinggi. Dari aspek fungsi hutan secara ekonomi, seluruh masyarakat mengandalkan hutan sebagai sumber bagi kehidupan sehari-hari. Jumlah usia produktif yang banyak terdapat di Kampung Bariat menyebabkan intensitas pemungutan hasil hutan menjadi lebih tinggi. Masyarakat Kampung Bariat masih tergolong petani subsisten, dimana hasil yang mereka dapatkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap hari masyarakat melakukan aktivitas menokok sagu, berburu binatang (babi), serta memancing ikan dan udang di sungai kecil yang terdapat di dalam hutan. Apabila hasil yang didapatkan lebih, maka sisanya akan dijual, namun pendapatan dari penjualan hasil hutan tersebut tidak menentu sehingga tidak dapat menjamin kebutuhan hidup mereka yang lain seperti sandang dan pendidikan.

Untuk menambah penghasilan keluarga, usaha yang saat ini dilakukan adalah penggalian pasir yang dilakukan disepanjang pinggiran hutan disekitar kampung. Biasanya setiap keluarga mampu mengumpulkan 2 – 3 ret per hari, dimana 1 ret setara dengan 1 m3. Tetapi karena pihak pembeli datang membeli pasir hanya 3 kali dalam 1 minggu dengan menggunakan sistim kupon (setiap kupon dihargai 1 – 2 ret pasir), maka dalam seminggu hanya 16 KK yang dapat menjual pasir. Ini berarti bahwa setiap keluarga dapat menjual pasir 1 kali dalam 3 minggu. Dengan demikian penghasilan setiap keluarga dari penggalian pasir ini cukup menjanjikan. Angka pendapaan yang cukup besar untuk ukuran keluarga dengan ratio ketergantungan 1 : 2, menjamin masyarakat adat untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal ini terbukti bahwa 90 % kepala keluarga di Kampung Bariat mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk kegiatan penambangan ini. 

Di sisi lain lokasi penambangan ini berbatasan langsung dengan hutan tanaman Agathis yang telah dibangun sejak tahun 1958 dan kegiatan penambangan telah merambah masuk ke dalam kawasan ini. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat lebih mengutamakan manfaat langsung dari hutan ketimbang manfat tidak langsungnya, karena telah dipahami bahwa kebutuhan ekonomi keluarga terus meningkat dari waktu ke waktu dan dapat melunturkan nilai hutan atau ibu kandung yang secara arif telah ditanamkan secara turun-temurun. Ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk tetap menjaga kearifan lokal yang seharusnya dijaga dan diwariskan turun – temurun dari generasi ke generasi. Menciptakan manfaat langsung dari hutan kepada masyarakat mungkin menjadi pilihan yang mudah dilakukan dan tepat untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan hutan, tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan dengan hati yang tulus. 

Secara sosial, marga Kamarei dianggap memiliki status sosial yang tinggi dalam hal penguasaan lahan adat karena mereka yang mula-mula menguasai wilayah adat afsia. Untuk mengikat tali persaudaraan diantara mereka beberapa marga yang datang kemudian diberi kesempatan untuk mencari nafkah bahkan ada sebagian tempat yang dihibahkan untuk menjadi hak milik. Hal ini tercermin dari nama afsia yang berasal dari dua kata (bahasa tehit), afafaf yang artinya saya dan engkau sedangkan sia artinya kasih sehingga afsia mengandung makna saya dan engkau menjalin kasih untuk hidup bersama di tempat ini, mengingat mereka berasal dari tempat yang berbeda seperti kareth dari klamono, konjol dan komendi dari teminabuan yang sebelumnya datang dari fakfak, kamerai kecil dari kais dan sawor dari manelek. Dalam hal ini fungsi hutan adat merupakan tali pengikat persadaraan untuk mereka hidup bersama secara turun temurun. 

Secara budaya, beberapa tempat tinggal dan tempat pertemuan nenek moyang yang mereka pertahankan sebagai tempat bersejarah. Sedangkan secara religius beberapa tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai sakral sudah hampir tidak difungsikan lagi mengingat sebagian besar masyarakat telah memeluk agama kristen protestan. [NM]

Seri 3 Hutan Adat Bariat : Kelembagaan Masyarakat Adat

Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel)

Sorong Selatan 
- Masyarakat adat Papua adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari lebih kurang 250 bahasa (Mansoben, 1994 dalam P3FED, 2002). Dua kelompok bahasa utama dalam masyarakat adat yaitu rumpun bahasa Austronesia dan non-Austronesia, yang membagi dua wilayah pulau Papua, yaitu Waropen, Wandamen, Biak, Ambai dan Tobati yang merupakan penduduk pantai dan kepulauan, dan mewakili kelompok non-Austronesia yaitu Dani, Sentani, Mee, Muyu, Asmat dan Meybrat, yang mewakili daerah pegunungan dan rawa. 

Ditinjau dari aspek struktur sosial, maka terdapat tiga sistem kekerabatan, yaitu:
  1. Patrineal, yaitu sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ayah (marga), yang diwakili oleh suku Asmat, Sentani, Biak, Waropen, Meybrat dan Dani. 
  2. Bilateral, yaitu sistem kekerabatan yang bisa mengikuti garis ayah atau garis ibu, yang diwakili oleh suku di sekitar Sarmi.
  3. Ambilineal, yaitu sistem kekerabatan, dimana keluarga dapat memilih ikut garis ayah atau garis ibu
Berdasarkan sistem kekerabatan tersebut, maka pada masyarakat adat Papua terdapat tiga sistem kepemimpinan tradisional, yaitu berdasar warisan, upaya pribadi dan gabungan. 

Sekalipun tipe kepemimpinan bervariasi antara satu suku dengan suku lain, namun mereka sebenarnya mempunyai tugas yang sama, yakni melindungi komunitas adatnya dari serangan komunitas luar, mengatur tata kehidupan dalam komunitasnya dan menyelesaikan konflik antar anggota masyarakat, antar kelompok marga. (Koentjoroningrat, 1994 dalam Tokede dkk, 2005).

Tipe kepemimpinan masyarakat adat secara struktural terletak pada kepala marga/klan dari suatu suku tertentu. Kepala suku yang ada pada saat ini telah terpolarisasi oleh perubahan dimensi sosial politik di wilayah Papua. Kepala Suku/Pria Berwibawa awalnya merupakan tokoh penting atau orang pintar diantara marga-marga yang tergabung dalam suku tertentu. Mereka dianggap sebagai tetua adat yang berfungsi sebagai mediator dalam perundingan dan penyelesaian konflik baik antar marga maupun antar suku. Kepala suku juga berperan dalam melakukan kontak dengan pihak luar atau kelompok suku lain, bahkan dapat menjadi alat penyalur aspirasi anggota komunitas adatnya. 

Kepemimpinan tradisional masyarakat adat di Papua adalah kepemimpinan individualistik yang pewarisannya berdasarkan garis keturunan, pria berwibawa atau gabungan keduanya. Hirarki kekuasaan terletak pada kepala marga dari suatu marga yang hidup dalam wilayah hukum adat tertentu serta mempunyai wilayah teritorial tertentu yang berbatasan dengan marga lain. Kepemilikan lahan dan sumberdaya adalah kepemilikan bersama (komunal) dan kewenangan pengaturan terletak kepada kepala marga. Kepala marga berperan sebagai pemimpin kelompok marga dan merupakan penerima mandat kewenangan dari orang tua.

Kelembagaan tradisionil pada awalnya sangat sederhana karena unit terkecil dari kelompok marga adalah rumah tangga. Kepala keluarga berperan sebagai pengambil kebijakan dan pemimpin dari keluarga. Ibu adalah pembantu kepala keluarga dalam melaksanakan tugasnya. Setiap anggota dalam keluarga mempunyai tugas-tugas sesuai dengan kesepakatan bersama dalam keluarga. Kelompok marga merupakan kumpulan dari beberapa keluarga-keluarga dalam satu marga/klan yang memiliki wilayah teritorial tertentu berdasarkan warisan turun-temurun. Masing individu dan keluarga dalam kelompok marga merupakan unit-unit organisasi yang saling tunjang satu dengan lainnya. Kepala marga berperan sebagai manager dan sekaligus sebagai fasilitator dalam mengatur, mengawasi dan mengevaluasi setiap anggota marganya sebagai satu unit kerja organisasi kelompok marganya. 

Struktur kelembagaan ini dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan berada pada kepala Marga. Semua anggota marga adalah satu kesatuan komunitas yang mempunyai hak dan kewajiban serta peran dan fungsi yang sama dalam menunjang kelangsungan hidup kelompok marga bersangkutan dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.

Pada saat Injil telah masuk di Tanah Papua, kepemimpinan kelembagaan adat mulai berkembang. Tokoh gereja memiliki peran dan kedudukan yang sama dengan kepala marga atau suku dalam suatu komunitas adat. Tokoh agama telah melakukan transformasi sosial dalam kehidupan sosial. Interaksi antar kelompok marga, antar kelompok suku telah dapat disatukan. Penyelesaian sengketa adat tidak lagi diselesaikan dengan perang, melainkan secara damai. Gereja telah memainkan peran dalam perubahan kelembagaan komunitas adat di wilayah ini. Gereja telah berperan sebagai fasilitator dan juga pengawas dalam kehidupan sosial komunitas adat tertentu.

Tokoh gereja lebih berperan dalam hal mengatur dan mengawasi perilaku sosial andividu dalam kelompok marga bersangkutan atau atar kelompok marga. Tokoh gereja tidak menginterfensi pewarisan hak kepemilikan dan penguasaan tanah, dan masih dipegang oleh kepala marga atau kepala suku. 

Pada zaman pemerintahan Belanda, struktur kepemimpinan dan kelembagaan komunitas adat mulai terpengaruh oleh bentuk pemerintahan yang dianut. Pembentukan kampung sebagai suatu bentuk pemukiman kelompok marga merupakan awal legitimasi kelembagaan adat oleh pemerintah. Pemerintah Belanda masih menghargai tatanan struktur kepemimpinan dalam kelembagaan adat. Namun beberapa kepala marga/klan (dusun) tidak bersedia bergabung dengan sistem pemerintahan Belanda. Pemerintah mencoba dengan menunjuk tokoh penting dalam kelompok suku sebagai kepala Kampung (Koranu). Kepala kampung berfungsi sebagai fasilitator antara satu marga dengan marga lainnya dan juga sebagai mediator dengan pihak pemerintah Belanda dalam hal pemerintahan. Kewenangan adat kepala marga/klan tetap terpelihara, hanya dibatasi oleh bayangan semu penguasaan wilayah teritorial kampung. Pola penggabungan kelompok marga menurut unit pemukiman masyarakat adat menjadi satu wilayah pemerintahan kampung menjadi sumber konflik. Kampung menurut masyarakat adat tidak diakui dan Kepala Kampung (Koranu) yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda tidak diakui keberadaannya oleh kepala marga. Pada saat inilah terjadi transformasi sosial dalam hal kepemilikan sumberdaya alam. Pemerintah mulai mengambil alih hak pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam dari kelompok marga komunitas adat. 

Pada saat itu, mulai terjadi pembentukan kelompok marga ekslusif dan sifat primodialisme kelompok marga mulai terpelihara. Kelompok marga/suku yang kooperatif dengan pemerintah belanda merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dengan saudaranya yang lain yang tidak kooperatif.

Pada zaman pemerintahan Republik Indonesia hingga otonomi khusus sekarang ini, kebijakan pemerintah adalah membentuk kampung – kampung induk. Pembentukan kampung induk dan pembentukan wilayah pemukiman baru dengan dalih untuk membuka isolasi guna mempermudah pelayanan dan pemerataan pembangunan. Dengan model demikian, maka terjadilah perubahan status kepemilikan wilayah teritorial suatu marga kepada marga lain bahkan telah terjadi perselisihan diantara marga. Hal ini terjadi karena sesuai dengan pola kepemilikan dan penguasaan lahan, hak adat masih berada pada marga asli.

Kepala Kampung adalah pemegang dan pengendali kekuasaan pemerintahan dan tidak ada kewenangan kekuaasaan lain di kampung. Peranan kepala marga dan tokoh gereja mulai terkucilkan dan diganti dengan kepala Kampung. Untuk mengakomodir tuntutan komunitas adat, pemerintah membentuk Lembaga Masyarakat Desa (LMD) atau Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). LMD/LKMD merupakan badan perwakilan masyarakat untuk melengkapi struktur pemerintahan Desa/Kampung. 

Gambar 4.6. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa/Kampung

Pada era desentralisasi saat ini, telah terjadi perubahan paradigma dalam pemerintahan dan masyarakat. Pemerintah melalui Otonomi Khusus mengisyaratkan pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat Papua. Namun dalam penjalanannya masyarakat adat terpolarisasi dengan berbagai macam intervensi politik dan inovasi yang menyebabkan kelembagaan adat semakin tenggelam. Nilai-nilai moral dan religi kepemimpinan adat telah terkikis dan semakin melemah. Interaksi dengan masyarakat luar dan gencarnya advoksi berbagai pihak semakin memperlemah kewibawaan kepemimpinan dan nilai-nilai adat masyarakat hukum adat di wilayah ini. Pembentukan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) di tahun 1980an, perannya tidak lebih hanya mendukung kepentingan pemerintah semata. Pada tahun 1990an, atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menfasilitasi pembentukan Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA). Tujuan pembentukan DPMA adalah untuk kepentingan penguatan masyarakat adat. Namun DPMA yang dibentuk hanya sebatas di sekitar Jayapura. Hingga pada akhir tahun 2001, dibentuk pula Dewan Adat yang pendiriannya oleh Presidium Dewan Papua dengan maksud untuk memperjuangan kebutuhan dasar masyarakat adat Papua, yaitu perlindungan dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat adat. P3FED (2002), melaporkan bahwa perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat mencakup :
  1. Perlindungan dalam bentuk legalisasi terhadap sistem pemerintahan adat/kampung untuk kepentingan perlindungan dan kesejahteraan rakyat, terutama terkait dengan pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya alam.
  2. Perlindungan dalam bentuk legalisasi tehadap hak-hak kepemilikan tanah dan hutan dalam wilayah hukum masyarakat adat di Tanah Papua. Pengakuan dan Penghargaan terhadap hak-hak penduduk asli guna mengelola sumberdaya alam.
  3. Perlindungan dalam bentuk legalisasi terhadap hubungan fiskal antara sistem pemerintahan adat di kampung dengan distrik untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan adat di Kampung.
Pengalaman perjalanan peradaban masyarakat adat di wilayah ini, bahwa dalam melaksanakan paradigma Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat adat, kelembagaannya tidak cukup hanya berpedoman pada kelembagaan adat semata, tetapi harus melibatkan stakeholders lain, yaitu pemerintah dan Agama. Pada tatanannya kewenangan pengelolaan sumberdaya alam terletak pada masyarakat hukum adat, sedangkan pemerintah dan agama kewenangan dalam hal mengatur, memotivasi, memfasilitasi dan mengontrol pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat.Di Kampung Bariat, terdapat kurang lebih 6 lembaga bentukan pemerintah yang ada, seperti Pemerintah kampung, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), , Agama (GKI), Lembaga Adat, Pos Yandu/Polindes/Puskesmas dan Kelompok Seni Budaya. Dari lembaga-lembaga ini, hanya 3 (tiga) lembaga yang mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat, yaitu Lembaga Adat, Gereja dan Pemerintahan Kampung karena ketiga lembaga ini yang memiliki kekuatan-kekuatan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat kampung serta memiliki andil yang besar dalam memberi kehidupan, mengayomi dan mempersatukan masyarakat. Lembaga lain seperti, Pendidikan SD, Pos Yandu, Polindes telah memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dengan keterbatasan yang ada. Sedangkan lembaga lainnya hanya lebih bersifat situasional saja ketika ada program dari luar untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Juga dijelaskan bahwa lembaga ekonomi yang ada di kampung adalah lembaga yang dibentuk oleh Dinas terkait atau LSM yang bergerak di bidang Ekonomi seperti, Kelompok Tani, dan Koperasi. Dalam perkembangannya lembaga ekonomi ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena keterbatasan kemampuan manajerial dari sumberdaya manusia yang ada di kampung. [NM]

Seri 1 Hutan Adat Bariat : Pola Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Adat Wilayah Semenanjung Bariat

Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel)

Sorong Selatan
- Wilayah semenanjung bariat dan sekitarnya ditempati oleh 5 dari sejumlah klen yang tergolong dalam suku Tehit, seperti Afsia, Gemna, Nakna dan Yaben. Wilayah adat Kampung Bariat dimiliki oleh klen afsia yang terdiri dari beberapa marga seperti, Kareth, Kemerai tua, Kamerai muda, Sawor, Konjol dan Komendi.

Patay (2005), menyebutkan bahwa di Papua sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas masyarakat adat adalah berdasarkan komunal menurut gabungan klen dan komunal menurut kelompok marga. Pada sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas adat ini mengganggap bahwa tanah, hutan dan air merupakan milik masyarakat adat yang diatur oleh pemimpin adat berdasarkan aturan adat yang dianutnya. 

Pada sistem pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam kelompok marga mengangap bahwa tanah, hutan dan air adalah milik marga yang diwariskan turun-temurun pada suatu marga dalam klen. Kedua sistem kepemilikan tersebut memiliki hak mereka berdasarkan dua tipe perolehan kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, yaitu (1) berdasarkan penemuan pertama suatu wilayah oleh suku/marga tertentu dan (2) berdasarkan pewarisan kepada keturunan atau hibah. Mampioper (2002) dalam Patay (2005), menjelaskan bahwa suku atau marga yang pertama kali datang dan bermukim di suatu tempat dengan seluruh wilayah yang dijelajahinya menjadi milik suku/marga pemukim pertama tersebut. Mereka memiliki hak atas tanah dan seluruh sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Kelompok suku atau marga lain yang datang kemudian dan bermukim bersama pemukim pertama dapat memanfaatkan tanah berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh pemukim pertama. Hak kepemilikan diperoleh melalui warisan, umumnya hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam diturunkan kepada anak laki-laki tertua. 

Menurut penuturan beberapa tokoh adat, penguasaan wilayah adat Kampung Bariat ini berdasarkan marga yang merupakan hibah dari beberapa marga yang pertama kali bermukim dan dari klen tetangga seperti gemna dan nakna. 

Pada awalnya wilayah adat ini telah ditempati oleh marga kamerai atau moyangnya yang disebut “kemanrane” yang artinya “tapak kaki tidak kelihatan”, karena moyang dari Kemerai ini selalu berjalan di atas lumut dan tidak meninggalkan bekas tapak kakinya. Mereka tinggal pertamakali di sungai nginggir (sekarang lokasi hutan agathis) dan tidak diketahui oleh klen tetangga seperti nakna dan gemna. Suatu saat kamanrane ketemu orang gemnase (gemna manelek yang sedang tokok sagu di simere (dusun sagu depan balai kampung bariat), mereka saling mengenal dan ikat janji untuk kepemilikan wilayah, bagian utara menjadi miliki gemnase dan bagian selatan menjadi milik kamerai dan sejak saat itu tempat ini menjadi batas kampung bariat dan manelek atau batas antara klen afsia (bariat) dan gemna. 

Peristiwa ini tidak diketahui oleh nakna sehingga pada saat mereka bertemu dengan marga kareth yang datang dari klamono mereka menyerahkan wilayah ini kepada marga kareth yang secara adat membayarnya dengan manusia putih, parang laki-laki (panjang), kain timor dan asmabrani (ilmu). Karena kepemilikan wilayah bariat ini didasarkan pada marga yang diperoleh dari dua klen yang berbeda, maka hingga saat ini ada beberapa tempat yang belum disepakati untuk dimiliki oleh salah satu marga dan masih dimiliki bersama oleh marga kamerai dan kareth. Setelah itu datang beberapa marga seperti sawor, kamerai kecil, konjol dan komendi dan kemudian mendapat hibah kepemilikan sebagian wilayah untuk bermukim dan mencari nafkah. Berdasarkan kesepakatan secara turun-temurun ada beberapa tempat yang dicadangkan untuk dimiliki dan mencari nafkah bersama. 

Seperti halnya dalam kepemimpinan adat, hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam yang saat ini berlaku adalah pola perwarisan kepada anak laki-laki tertua melalui hukum Patrineal dan Ambilineal. Anak laki-laki tertua inilah yang menjadi ketua marga dan mengatur pembagian dan pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yang tersedia untuk keperluan hidupnya terutama untuk kegiatan meramu (ekstrasi sumberdaya alam) maupun pemanfaatan untuk kegiatan perladangan. Namun menurut tokoh masyarakat adat di Kampung Bariat, masyarakat umumnya tidak mengenal sistem kepemimpinan yang terstruktur tetapi kolektif artinya siapa saja dari anggota klen/marga dapat menjadi pimpinan asalkan dapat memenuhi kriteria seperti berjiwa pemimpin dan dapat membawah masyarakat kearah yang lebih baik. [NM]

Sunday, October 11, 2020

Kondisi Biogeofisik Kawasan Hutan Kota Teminabuan - Sorong Selatan

Peta Luasan Blok Perkantoran dan Hutan Kota Teminabuan (foto : dishut sorsel)

Sorong Selatan - Kawasan Hutan Kota Teminabuan adalah kawasan hutan yang menyatu dengan lokasi perkantoran pemerintah daerah dan perumahan staf. Secara keseluruhan, luasan areal kawasan hutan kota, perkantoran, dan perumahan staf adalah 49,56 ha. Sedangkan luasan masing-masing peruntukan kawasan adalah sebagai berikut Hutan Kota 25,46 ha, Perkantoran 15,21 ha dan Perumahan : 8,89 ha. 


A. Kondisi Biologis Kawasan

Kondisi Hutan Alam Primer

Kawasan Hutan Alam Primer Perkantoran Kabupaten Sorong Selatan merupakan hutan alam yang sengaja dibiarkan pada saat pembukaan areal untuk perkantoran. Hutan ini telah mengalami degradasi namun komposisi tegakan masih menunjukan karakter hutan primer. Komposisi jenis yang terdapat dalam kawasan ini tergolong sedang. 

Hasil kajian menunjukan bahwa kawasan hutan alam primer ditumbuhi oleh 35 jenis tumbuhan berkayu, yaitu : Aglaia odorata, Alstonia scholaris, Aralia braciata, Archidendron parviflorum, Artocarpus altilis, Canarium hiersutum, Celtis phillipinensis, Cleithantus mirianthus, Dendrocnide sp., Dracontomelon dao, Dracontomelon minor, Endospermum mollucanum, Ficus laevigata, Ficus robusta, Homalium foetidum, Horsfieldia irya, Inocarpus vagiferus, Leea aequleacta, Lepiniopsis ternatensis, Lithocarpus sp., Macaranga gigantean, Mangifera sp., Melycope sp., Neonauclea sp., Pangium edule, Paraltocarpus sp., Picrasma javanica, Pimelodendron amboinicum, Pometia pinnata, Rhus sp., Spatiostemon javensis, Spondias cytherea, Tabernaeamontana sp., Terminalia complanata dan Theysmaniodendron bogoriensis. 

Berdasarkan struktur atau tatanan masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam kawasan hutan ini, Arthocarus artilis. merupakan jenis yang sangat dominan, baik dari segi kepadatan, penyebaran, maupun penguasaan ruang tumbuh. 

Kondisi Hutan Alam Sekunder

Hampir sebagian besar blok hutan perkantoran adalah Hutan Alam Sekunder. Hutan ini terdiri atas 3 kelompok hutan sekunder yakni hutan sekunder awal, hutan sekunder peralihan dan hutan sekunder lanjut. 

Hutan sekunder awal ditandai oleh keberadaan jenis-jenis pioneer seperti Macarangga spp, Tremna sp dan Premna spp. Sedangkan untuk hutan sekunder peralihan adalah hutan yang telah menunjukkan keberadaan dari jenis-jenis tumbuhan hutan primer yang tumbuh baik sebagai anakan maupun pancang dan dalan hutan ini jenis-jenis pioneer telah mengalami perkembangan dalam tinggi dan diameternya yang menunjukan diameter tungkat pohon. Selanjutnya untuk hutan sekunder lanjutan telah terlihat pohon-pohon yang merupakan jenis tumbuhan hutan primer seperti Pometia dan Myristica sp. 

Komposisi jenis tumbuhan berkayu pada areal hutan alam sekunder antara lain Rhus sp., Artocarpus altilis, Alstonia macrocarpa, Celtis phillipinensis, Neonauclea sp., Artocarpus freisianus, Pometia pinnata, Theysmaniodendron bogoriensis, Spatiostemon javensis, Horsfieldia laevigata, Homalium foetidum, Cryptocarya sp., Fagraea rasemosa, Canarium indicum dan Koordersiodendron pinnatum

Potensi Hasil Hutan Non Kayu

Hasil hutan non kayu yang terdapat pada kawasan hutan kota perkantoran dapat digolongkan dalam beberapa Kelompok, yaitu paku-pakuan (Pterydophyta), pandan (Pandanaceae), jahe-jahean (Singiberaceae), serta rotan dan palem (Arecaceae/Palmae). Palem dan Rotan merupakan kelompok Hasil hutan non kayu yang memiliki jumlah jenis tertinggi, kemudian diikuti oleh paku, dan pandan serta jahe-jahean. 

Palem dan Rotan (Arecaceae / Palmae)

Palem dan Rotan di Areal Hutan Kota
(foto : dishut sorsel)
Jenis – Jenis palem yang terdapat di kawasan hutan kota perkantoran, umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai tanaman hias dan bahan baku pembuatan atap dan lantai rumah. Jenis – jenis palem yang dimanfaatkan sebagai tanaman hias antara lain Hydriastele cosata, Dransfieldia micrantha, dan Licuala sp. Sedangkan bahan baku untuk pembuatan lantai dan atap rumah, masyarakat memanfaatkan jenis Orania disticha dan Arenga pinnata. Jenis Calamus sp. merupakan salah satu dari tiga jenis rotan yang tergolong berkualitas baik. Hingga saat ini masyarakat hanya memanfaatkannya sebagai pengganti tali untuk mengikat. Jenis-jenis palem dan rotan yang terdapat pada kawasan hutan perkantoran yatu Hydriastele cosata, Hydriastele flabelata, Hydriastele sp., Rhopaloblaste ceramica, Drymophleous oliviformis, Dransfieldia micrantha, Sommeria leucophylla, Areca macrocalyx, Orania disticha, Arenga pinnata, Licuala sp., Calamus vistitus, Calamus aruensis dan Calamus sp.

Paku (Pterydophyta)

Tumbuhan paku dijumpai tumbuh menyebar terutama di hutan primer dengan sedikit gangguan. Pada areal yang terbuka jenis-jenis Nephrolepsis biseriate dan N. hirsute tumbuh melimpah dengan ketinggan hingga 1 m dan pada areal yang agak ternaungi dijumpai kelompok paku-pakuan dari genus Drypetes rumbuh memenuhi areal. Terdapat juga jenis Selaginella sp. Beberapa tumbuhan paku epifit tumbuh pada batang pohon yakni Asplenium nidus, Drynaria sp dan Belchum sp,. Pemanfaatan tumbuhan paku antara lain untuk pangan yakni dari jenis Drypetes dan juga untuk pembungkus buah-buahan agar tidak cepat layu serta dimanfaatkan juga sebagai tanaman hias. Jenis – jenis tumbuhan paku pada kawasan hutan kota yatu Asplenium nidus, Lindsaea sp., Drynaria sp., Drypetes sp., Nephrolepsis bisseriate dan Nephrolepsis hirsitula

Pandan (Pandanaceae)

Jenis-jenis Pandan di Areal Hutan Kota
(foto : dishut sorsel)
Tumbuhan pandan merupakan salah satu kelompok hasil hutan non kayu yang banyak ditemukan di hutan-hutan Papua. Terdapat sebanyak 3 genus pandan di Papua namun yang ditemukan dalam blok hutan perkantoran di Teminabuan ini adalah genus Pandanus dan Genus Freycinetia. Pandanus adalah marga pandan tegak yang selain ditemukan di areal terbuka dapat juga ditemukan hidup di bawah areal tertutup tajuk pohon. Berbeda halnya dengan Freycinetia yang memerlukan pohon inang dan kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi. Jenis ini ditemukan dalam blok hutan primer yang sedikut terganggu dan blok hutan yang memiliki sungai kecil. Masyarakat memanfaatkan Freycinetia sebagai daun pembungkus sagu terutama jenis Freycinetia macrostachya, sementara itu untuk Pandanus dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan atap rumah, tikar, maupun sebagai alat penangkap ikan atau udang, juga untuk pembuatan mantel hutan. Jenis-jenis pandan pada hutan kota teminabuan yatu Pandanus tectorius, Pandanus furcatus, Pandanus sp., Freycinetia macrostachya, Freycinetia marginata, Freycinetia scandens dan Freycinetia sp.

Jahe-jahean (Zingiberaceae)

Jenis-jenis Jahe-jahean di Areal Hutan Kota 
(foto : dishut sorsel)
Pada hutan perkantoran dalam blok hutan primer yang tersisa terdapat beberapa jenis jahe-jahean yang tumbuh subur di bawah tegakan hutan yang lebat,. Kelompok tumbuhan ini memiliki potensi sebagai tanaman hias kerena bunganya yang indah baik yang terdapat di ujung batang atau terminal maupun yang tumbuh dari dalam tanah sebagai tunas bunga. Tunas bunga yang kemudian menghasilkan buah dari kelompok Alpinia sp ini dapat dimakan sebagai buah segar. Adapun jenis-jenis tumbuhan jahe-jahean sebagai berikut Alpinia galaga, Alpinis sp1. Zingiber sp1, Zingiber sp2, Alpinia sp2 dan curcuma sp

Secara umum semua tanaman dapat menyerap CO2 dan menghasilkan O2 tetapi tanaman yang dianggap efektif dalam melakukan aktifitas ini adalah tanaman jenis Ficus benyamina. Untuk tanaman yang berfungsi sebagai penyerap bau dalam wilayah ini adalah jenis Pandanus sp., Sedangkan jenis tanaman yang dapat menjaga pelestarian air tanah adalah jenis aren (Arenga pinnata).

B. Kondisi GeoFisik Kawasan

Iklim 

Data iklim menunjukkan bahwa tipe iklim di wilayah Sorong Selatan adalah tipe iklim A berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, 1951. Tipe iklim A mengindikasikan bahwa daerah survei termasuk wilayah tropika basah dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm tahun-1 dan relatif merata sepanjang tahun. Suhu udara rerata minimum bulanan adalah 23,9°C dan rerata maksimum 32,9°C. Berdasarkan data suhu udara dapat diklasifikasikan bahwa daerah hutan kota mempunyai regim suhu panas (isohypertermik) yaitu suhu tanah pada penampang lebih dari 22°C, dan perbedaan rerata suhu tanah tertinggi dengan rerata terendah <6°C (Soil Survey Staff, 2003). Curah hujan rerata tahunan berkisar antara 2300 sampai 3700 mm dengan jumlah hari hujan 214 sampai 258 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa, bulan basah (>100 mm bulan-1) terjadi sepanjang tahun dan tanpa bulan kering (<60 mm bulan-1) menurut kriteria Schmidt dan Ferguson (1951). 

Berdasarkan data iklim mikro, maka regim kelembaban tanah tergolong udik karena penampang kontrol tanah berkategori kering selama ≤ 3 bulan (< 90 hari) dalam tahun-tahun normal. Rerata kelembaban udara bulanan mencapai 86%, artinya daerah hutan kota termasuk daerah lembab. Penyinaran matahari rerata bulanan 53,12%. 

Geologi

Data geologi menunjukkan bahwa daerah Sorong Selatan khususnya wilayah teminabuan terbentuk melalui proses lipatan, patahan dan angkatan yang membentuk plateau dengan ketinggian 300 sampai 400 m di atas permukan laut. Daerah ini terbentuk dari endapan batu kapur pada masa tersier muda. Formasi batuan kapur berliat, termasuk ke dalam mergel atau batu kapur bermergel. Batuan kapur yang ada sebagian berkonsentrasi kuarsa tinggi. Umumnya di daerah ini terdapat karst yang berupa dolina, kuala dan drainase di bawah tanah (Schroo, 1963).

Topografi

Areal Hutan Kota bertopografi datar, bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan 3% sampai 8%. 

Sifat-sifat Fisik dan Kimia Tanah 

Hasil pengamatan karakteristik tanah dan analisis di laboratorium menunjukkan bahwa tekstur tanah pada lapisan atas (0-30 cm) adalah liat, lempung berliat, liat berdebu, lempung liat berdebu dan lempung liat berpasir. 

Struktur gumpal dan remah berukuran sedang sampai kecil, konsistensi lekat, plastis dan teguh. Struktur tanah pada areal perbukitan berbentuk kubus dan remah, konsistensi agak lekat sampai lekat. Berdasarkan sistem klasifikasi USDA (2001), tanah pada satuan penggunaan ini termasuk Ordo Inceptisols. Sifat-sifat kimia tanah menunjukkan bahwa pH-H2O berkisar 7,0 sampai 8,2 (netral sampai alkalis), kadar C-organik, Nitrogen, Kalium, dan KTK tergolong rendah sampai sangat rendah, sedangkan P-tersedia berkadar sedang. Rendahnya bahan organik dan KTK mengindikasikan bahwa tanah tersebut berstatus kesuburan rendah dengan faktor pembatas utama adalah C-organik dan N. [NM]