Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel) |
Sorong Selatan - Berdasarkan nilai adat yang dianut oleh masyarakat adat Papua pada umumnya, khususnya masyarakat adat yang berada di Kampung Bariat, bahwa lahan ataupun hutan memiliki nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai budaya (religius) yang sangat dijunjung tinggi.
Patay (2005), menguraikan nilai atau fungsi hutan menurut pandangan masyarakat adat sebagai berikut :
- Nilai ekonomi: hutan sebagai sumber hewan buruan, sebagai tempat bercocok tanam, sebagai tempat mengambil kayu, buah-buahan, biji-bijian dan sayur-sayuran dan sebagai sumber tumbuhan obat. Hasil hutan tersebut dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup dan sumber keuangan rumah tangga.
- Nilai sosial: hutan sebagai sarana pengikat hubungan sosial antar warga dalam satu suku maupun antar suku. Sebagai instrumen untuk mengukur status sosial seseorang atau komunal dalam satu marga atau klan atau suku.
- Nilai budaya dan adat: hutan sebagai tempat untuk upacara keagamaan dan upacara adat terkait dengan pemujaan terhadap leluhur yang dibuktikan dengan adanya tempat keramat, tempat pamali yang dipercayai dan dihormati oleh anggota suatu suku atau antar suku. Tempat-tempat tertentu di dalam hutan yang dianggap memiliki nilai religius atau ritual adalah mata air, gua, pohon-pohon tertentu yang dalam budayanya harus dijaga dan dilindungi.
Mereka secara adat beranggapan bahwa tanah dan hutan bagaikan “ibu kandung” yang dapat memberi makan anak-anaknya. Berdasarkan nilai adat tersebut tanah tidak dapat diperjual-belikan, karena jika mereka menjualnya sama halnya dengan menjual ibu kandungnya. Demikian pula dengan hutan, orang luar tidak boleh dengan sembarangan masuk untuk merusak hutan tanpa seizin kepala suku atau kepala marga, mereka akan marah karena menganggap datang untuk membunuh ibu kandung mereka.
Masyarakat adat memandang bahwa tanah dan hutan merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan masyarakat adat akan tanah merupakan suatu proses yang berkembang dari diri mereka sebagai pemilik adat. Tanah telah dianggap sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan komunitas adat mereka. Karenanya komunitas adat (Suku/Marga) selalu berusaha untuk memiliki tanah seluas-luasnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup komunitasnya dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Masyarakat Papua umumnya hidup di dalam dan di sekitar hutan. Secara tradisionil mereka menerapkan praktek-praktek pengelolaan hutan melalui kearifan tradisional yang didalamnya mengandung aspek-aspek konservasi. Hutan bagi masyarakat adat Papua telah berkembang dan menyatu dengan sistem sosial budaya yang dianut. Mereka menerapkan kearifan tradisional yang dipercaya dapat mempertahankan hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Hutan tidak lagi dianggap hanya sekedar memberi nilai ekonomi, tetapi juga memiliki nilai sosial budaya. Fungsi hutan menurut pandangan adat di Papua dideskripsikan sebagai berikut
1. Hutan sebagai fungsi Ekonomi
Sumber satwa buruan, sumber sayuran, sumber buah-buahan, sumber biji-bijian, obat-obatan, dan kayu untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual
2. Hutan sebagai fungsi Sosial
Sebagai pengikat kekerabatan antar marga dalam satu suku maupun antara suku; sebagai instrumen penentu status sosial seseorang, marga/klan dan suku tertentu
3. Hutan sebagai fungsi Budaya/religius
Sebagai tempat keramat yang dihormati dan dipercayai anggota suatu suku; tempat ini harus dilindungi karena bernilai ritual (tempat upacara adat); sebagai tempat melangsungkan keturunan (beberapa suku tertentu).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, diketahui bahwa tingkat ketergantungan masyarakat adat di Kampung Bariat terhadap hutan sangat tinggi. Dari aspek fungsi hutan secara ekonomi, seluruh masyarakat mengandalkan hutan sebagai sumber bagi kehidupan sehari-hari. Jumlah usia produktif yang banyak terdapat di Kampung Bariat menyebabkan intensitas pemungutan hasil hutan menjadi lebih tinggi. Masyarakat Kampung Bariat masih tergolong petani subsisten, dimana hasil yang mereka dapatkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap hari masyarakat melakukan aktivitas menokok sagu, berburu binatang (babi), serta memancing ikan dan udang di sungai kecil yang terdapat di dalam hutan. Apabila hasil yang didapatkan lebih, maka sisanya akan dijual, namun pendapatan dari penjualan hasil hutan tersebut tidak menentu sehingga tidak dapat menjamin kebutuhan hidup mereka yang lain seperti sandang dan pendidikan.
Untuk menambah penghasilan keluarga, usaha yang saat ini dilakukan adalah penggalian pasir yang dilakukan disepanjang pinggiran hutan disekitar kampung. Biasanya setiap keluarga mampu mengumpulkan 2 – 3 ret per hari, dimana 1 ret setara dengan 1 m3. Tetapi karena pihak pembeli datang membeli pasir hanya 3 kali dalam 1 minggu dengan menggunakan sistim kupon (setiap kupon dihargai 1 – 2 ret pasir), maka dalam seminggu hanya 16 KK yang dapat menjual pasir. Ini berarti bahwa setiap keluarga dapat menjual pasir 1 kali dalam 3 minggu. Dengan demikian penghasilan setiap keluarga dari penggalian pasir ini cukup menjanjikan. Angka pendapaan yang cukup besar untuk ukuran keluarga dengan ratio ketergantungan 1 : 2, menjamin masyarakat adat untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal ini terbukti bahwa 90 % kepala keluarga di Kampung Bariat mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk kegiatan penambangan ini.
Di sisi lain lokasi penambangan ini berbatasan langsung dengan hutan tanaman Agathis yang telah dibangun sejak tahun 1958 dan kegiatan penambangan telah merambah masuk ke dalam kawasan ini. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat lebih mengutamakan manfaat langsung dari hutan ketimbang manfat tidak langsungnya, karena telah dipahami bahwa kebutuhan ekonomi keluarga terus meningkat dari waktu ke waktu dan dapat melunturkan nilai hutan atau ibu kandung yang secara arif telah ditanamkan secara turun-temurun. Ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk tetap menjaga kearifan lokal yang seharusnya dijaga dan diwariskan turun – temurun dari generasi ke generasi. Menciptakan manfaat langsung dari hutan kepada masyarakat mungkin menjadi pilihan yang mudah dilakukan dan tepat untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan hutan, tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan dengan hati yang tulus.
Secara sosial, marga Kamarei dianggap memiliki status sosial yang tinggi dalam hal penguasaan lahan adat karena mereka yang mula-mula menguasai wilayah adat afsia. Untuk mengikat tali persaudaraan diantara mereka beberapa marga yang datang kemudian diberi kesempatan untuk mencari nafkah bahkan ada sebagian tempat yang dihibahkan untuk menjadi hak milik. Hal ini tercermin dari nama afsia yang berasal dari dua kata (bahasa tehit), afafaf yang artinya saya dan engkau sedangkan sia artinya kasih sehingga afsia mengandung makna saya dan engkau menjalin kasih untuk hidup bersama di tempat ini, mengingat mereka berasal dari tempat yang berbeda seperti kareth dari klamono, konjol dan komendi dari teminabuan yang sebelumnya datang dari fakfak, kamerai kecil dari kais dan sawor dari manelek. Dalam hal ini fungsi hutan adat merupakan tali pengikat persadaraan untuk mereka hidup bersama secara turun temurun.
Secara budaya, beberapa tempat tinggal dan tempat pertemuan nenek moyang yang mereka pertahankan sebagai tempat bersejarah. Sedangkan secara religius beberapa tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai sakral sudah hampir tidak difungsikan lagi mengingat sebagian besar masyarakat telah memeluk agama kristen protestan. [NM]
No comments:
Post a Comment