Wednesday, October 14, 2020

Seri 4 Hutan Adat Bariat : Hak Kepemilikan dan Penguasaan Suatu Wilayah Adat

Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel)

Sorong Selatan
- Hak kepemilikan dan penguasaan suatu wilayah adat, menurut Mansoben (2002), terdiri atas tiga kelompok, yaitu hak komunal berdasarkan gabungan klen, hak komunal menurut klen dan hak individual. Hak kumunal berdasarkan gabungan klen, pengaturan pemanfaatan diatur oleh kepala komunitas seperti Ondoafi dan dibantu oleh pembantu kepala (Khoselo). Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan ini dianut oleh suku-suku di daerah Sentani dan Genyem. Hak kepemilikan komunal berdasarkan klen, pengaturan pemanfaatan diatur oleh kepala klen, yaitu oleh anak laki-laki sulung pendiri klen dan bersifat pewarisan. Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan ini berlaku bagi suku-suku di wilayah Biak, Waropen, Dani, Meybrat, Sumuri, Wamesa, Asmat dan lain-lain. Hak kepemilikan individual dianut oleh suku Mee dan Auwyu.

Sistem kepemilikan dan penguasaan lahan dan sumberdaya alam di Papua sebagian besar menganut hak kepemilikan komunal berdasarkan gabungan klen dan berdasarkan klen. Kedua pola kepemilikan dan penguasaan lahan tersebut diperoleh melalui dua proses. Patay (2005), menyebutkan bahwa di Papua sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas masyarakat adat (Komunal menurut gabungan Klen) dan kelompok marga (Komunal menurut klen). Pada sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas adat mengganggap bahwa tanah, hutan dan air merupakan milik masyarakat adat yang diatur oleh pemimpin adat berdasarkan aturan adat yang dianutnya. Pada sistem pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam kelompok marga mengangap bahwa tanah, hutan dan air adalah milik marga yang diwariskan turun-temurun pada suatu marga (klan). Sistem pemilikan tersebut menunjukkan bahwa ada dua tipe perolehan kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam di Papua, yaitu (1) berdasarkan penemuan pertama suatu wilayah oleh suku/marga tertentu dan (2) berdasarkan pewarisan kepada keturunan atau hibah. 

Mampioper (2002) dalam Patay (2005), menjelaskan bahwa suku atau marga yang pertama kali datang dan bermukim di suatu tempat dengan seluruh wilayah yang dijelajahinya menjadi milik suku/marga pemukim pertama tersebut. Mereka memiliki hak atas tanah dan seluruh sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Kelompok suku atau marga lain yang datang kemudian dan bermukim bersama pemukim pertama dapat memanfaatkan tanah berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh pemukim pertama. Hak kepemilikan diperoleh melalui warisan, umumnya hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam diturunkan kepada anak laki-laki tertua. Pola ini hampir berlaku bagi seluruh suku yang ada di Papua termasuk wilayah kepala burung. Namun pada beberapa suku menurut Kuntjoroningrat (1996) pewarisan mengandung hukum ambilineal, yaitu anak laki-laki berhak atas tanah atau dusun milik ayah atau ibunya. 

Seperti halnya dalam kepemimpinan adat, hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam yang saat ini berlaku adalah pola perwarisan kepada anak laki-laki tertua melalui hukum Patrineal dan Ambilineal. Anak laki-laki tertua inilah yang akan menjadi ketua marga dan mengatur pembagian dan pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yang tersedia untuk keperluan hidupnya terutama untuk kegiatan meramu (ekstrasi sumberdaya alam) maupun pemanfaatan untuk kegiatan perladangan.

Dalam rangka pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adat, hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam dapat dipetakan secara partisipatif bersama masyarakat sampai pada tingkat marga. Peta tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya masyarakat adat. [NM]

No comments:

Post a Comment