Tegakan Agathis labilardieri Warb pada Hutan Damar Bariat Distrik Konda Kabupaten Sorong Selatan |
Sorong Selatan - Pada masa pemerintahan Belanda, divisi kehutanan atau yang lebih dikenal dengan BOSWEZEN melalui proyeknya yang diberi nama KEREN Proyek, yang bertugas merencanakan pembangunan hutan tanaman yang dapat menghasilkan getah dan kayu. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang ada di sekitar hutan
Dimulai pada tahun 1958, beberapa daerah di West Papua (sekarang Papua dan Papua Barat) ditentukan untuk menjadi sasaran kegiatan, seperti Kabupaten Jayapura bertempat di Sarmi (sekarang Kabupaten Sarmi), Kabupaten Biak bertempat di Biak Timur (Parieri) dan Kabupaten Manokwari bertempat di Distrik Kebar (sekarang Kabupaten Tambrauw) serta Kabupaten Sorong bertempat di Distrik Teminabuan (sekarang Distrik Konda).
Hanya dua jenis pohon yang dipilih sebagai komoditi andalan karena dianggap sesuai dengan tujuan utama dari proyek, yaitu Agathis labilardieri Warb yang ditanam di Kabupaten Sarmi, Biak dan Bariat, sedangkan Araucaria cuninghami di tanam di Kebar.
Sasaran utama dari proyek ini adalah kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan menjadi lebih baik, oleh karena itu keterlibatan masyarakat sekitar hutan sudah dimulai diutamakan sejak awal. Hal ini terbukti dengan adanya perekrutan tenaga kerja lokal untuk dilatih menjadi tenaga kerja terampil di bidang kehutanan. Di antara mereka yang dinilai menunjukkan kinerja baik selanjutnya dikirim ke Selandia Baru untuk mengikuti pelatihan lanjutan sesuai dengan kemampuannya yang dibedakan dalam empat bidang, seperti bidang Survey, Pengumpulan Benih, Pesemaian dan Penanaman. Selanjutnya tenaga terlatih di bidangnya ini ditunjuk sebagai pimpinan kegiatan lapangan di KEREN Proyek.
Hutan Bariat di Distrik Konda dipilih menjadi salah satu lokasi proyek pembangunan hutan tanaman pada waktu itu karena dinilai dari beberapa aspek: Secara ekologis, tanaman yang akan dikembangkan, Agathis labilardieri Warb., telah ada dan tumbuh secara alamiah dengan baik bahkan menurut catatan pengamatan di lapangan pada waktu itu dapat menghasilkan damar sekitar 500 kg/ha/bulan. Secara fisik, dengan mempertimbangkan topografi yang agak datar sampai landai dengan ketinggian 20m sampai 64 m di atas permukaan laut dan luas lahan yang cukup maka pada kawasan ini direncanakan untuk penanaman pohon agathis pada lahan seluas 3800 ha. Dari segi aksesibilitas, lokasi ini dianggap sangat strategis. Oleh karena itu, selain direncanakan sebagai hutan tanaman, kawasan hutan bariat ini juga direncanakan sebagai pusat produksi damar di wilayah kepala burung untuk menampung produksi damar dari hutan alam yang berasal dari sekitarnya seperti di Seremuk, Aifat dan bahkan hutan tanaman Araucaria cuninghami yang direncanakan di Kebar. Dari aspek sosial budaya, proyek bariat ini secara tidak langsung melibatkan masyarakat dari tiga suku besar, Meybrat, Tehit dan Imeko. Di samping terlibat sebagai tenaga kerja, sebagian dari mereka juga datang untuk menjual hasil damar mereka.
KEREN Proyek Bariat yang dipimpin oleh Bowman dan ketua kelompok penelitinya Hansen, dimulai setelah kepala klen Afsia/Bariat (salah satu klen dari suku Tehit), Policarpus Kareth, menyerahkan hak adat atas lahan hutan tanaman agathis pada tahun 1958 kepada Pemerintah Belanda atas kesepakatan seluruh masyarakat adat Afsia/Bariat. Kawasan ini kemudian oleh pemerintah belanda dinamakan Resort Pemangku Hutan (RPH) Bariat. Pada tahun itu juga segera dibangun sarana prasarana proyek seperti, jalan yang menghubungkan lokasi proyek dengan Teminabuan dan jalan-jalan penghubung pusat kegiatan di lokasi proyek (sekarang disebut Jalan BosWezen/Jalan Bariat), Base Camp di Menye (terdiri dari perkantoran, gudang penampung damar, dan tempat tinggal karyawan) dan Pelabuhan Kapal di Menye untuk mengekspor hasil damar. Base Camp di bangun di Menye karena belum ada pemukiman masyarakat seperti saat ini di Kampung Bariat dan Manelek. Masyarakat adat afsia masih bermukim bersamaan dengan masyarakat adat lainnya di Kampung Konda.
Pada tahun 1959, KEREN Proyek dimulai kegiatan clearing atau pembukaan lahan dan pembuatan pesemaian hutan tanaman agathis secara bertahap sesuai dengan kemampuan tenaga kerja pada saat itu. Kegiatan ini melibatkan banyak tenaga kerja sehingga banyak dari mereka yang datang dari Teminabuan, Kais, Ayamaru, Aifat, Aitinyo, Makaroro dan Mare untuk bekerja di proyek ini sebagai karyawan lepas. Sebagai karyawan lepas mereka membuat pemukiman sementara di luar lokasi proyek. Lokasi pemukiman ini terus berkembang hingga terbentuk suatu kampung yang saat ini dikenal dengan nama kampung Manelek.
Di samping mempersiapkan pembangunan hutan tanaman agathis bariat, proyek ini juga telah memfasilitasi pemasaran hasil damar dari beberapa tempat disekitarnya selain dari kawasan hutan bariat sendiri, seperti dari Ayawasi-Aifat dan Seremuk. Bahkan menurut penuturan masyarakat, pemerintah belanda menyediakan pesawat sejenis cesna sebagai sarana transportasi hasil damar dari Ayawasi ke Teminabuan dan selanjutnya diangkut ke Menye. Sebelumnya masyarakat memikul hasil sadapan mengikuti jalan setapak melalui Bogaraga (sekarang Waigo) dan selanjutnya ke Menye.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola keuangan, pemerintah belanda memfasilitasi berdirinya sebuah koperasi masyarakat yang diberi nama “Koperasi WNB”. Nama koperasi ini berasal dari kata W = Weta, N = Nakin dan B = Brat. Weta artinya anggota koperasi yang berasal dari Aitinyo dan Makaroro (sekarang distrik Aifat Timur), Nakin artinya mereka yang datang dari Kais (sekarang distrik Kais) dan Brat artinya mereka yang datang dari Ayamaru, Aifat dan Mare (sekarang distrik Ayamaru, Ayamaru Utara, Mare dan Aifat).
Kopal Damar |
Sejak tahun 1963, proyek ini tidak dapat berjalan lagi karena pemerintah belanda harus melepaskan wilayah papua ke pangkuan Negara Republik Indonesia. Segala aset yang ada diserahkan ke Pemerintah Republik Indonesia dan dikelola oleh Dinas Kehutanan Provinsi Irian Barat.
Adalah seorang karyawan RPH Bariat yang bekerja di dua masa pemerintahan negara, bapak Tigore menuturkan beberapa pengalamannya bekerja di hutan tanaman agathis. Beliau memulai karirnya di bidang kehutanan sebelum tahun 1954 di Biak (KEREN Proyek Parieri). Sebagai karyawan yang dianggap terampil setelah mengikuti pelatihan di Selandia Baru, sejak tahun 1954 bapak asal Kais ini dipercayakan sebagai pemimpin lapangan di KEREN Proyek Sorong yang meliputi beberapa lokasi seperti Aifat, Ayamaru, Bariat dan Seremuk yang berkedudukan di Ayamaru. Sejak tahun 1958, KEREN Proyek Bariat dimulai, bapak Tigore dipindahkan ke wilayah ini untuk membina masyarakat adat. Mereka diberi pelatihan cara menentukan pohon induk, memanen buah untuk benih, dan pemeliharaan lantai tanaman hutan agathis. Sejak jaman TRIKORA (Republik Indonesia mengambil alih permerintahan di Papua, 1963) RPH Bariat yang berkedudukan di Menye, dipindahkan ke Manelek (sekarang kampung Manelek) dengan pertimbangan kemudahan aksesibilitas.
Pada saat itu beliau masih terus aktif menjaga kelangsungan dari hutan agathis di Bariat. Hal ini memacu pertumbuhan pemukiman di Manelek yang cukup menyediakan fasilitas sosial yang memadai seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan kerohanian. Dengan mempertimbangkan kemudahan-kemudahan ini, masyarakat adat bariat yang tadinya tinggal di wilayah konda, nakna dan manelek mulai memanfaatkan wilayah adat mereka, yang sebelumnya hanya sebagai tempat mencari makan, untuk dijadikan tempat tinggal atau kampung hingga sekarang kampung ini dikenal dengan nama ”Kampung Bariat”. Begitulah, bapak yang aktif di RPH Bariat hingga pensiun tahun 1966, mengisahkan berdirinya Kampung Bariat yang saat ini menjadi tetangga Kampung Manelek tempat bapak Tigore menyisahkan masa tuanya bersama istri dan anak-anaknya.
Selain itu, menurut penuturan beberapa masyarakat sebagai pelaku sejarah, proyek ini telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat baik kemampuan profesional di bidang pengelolaan hutan maupun di bidang ekonomi. Hal ini terbukti dari beberapa putra asli Bariat seperti Alm. Dominggus Kareth anak dari Policarpus Kareth yang dipercayakan untuk bekerja di Lembaga Penelitian Pertanian di Amban Manokwari. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia lembaga ini berubah nama menjadi LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian Manokwari) dan sejak tahun 1964 diserahkan kepada Fakultas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan (FPPK) Universitas Cenderawasih Manokwari dan pada tahun 2000 telah resmi menjadi Universitas Negeri Papua sekarang bernama Universitas Papua
Bapak Silas Saa, BSc,mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan, merupakan buah karya dari proyek ini. Menurut penuturan beliau, orang tua dan kerabatnya juga terlibat saat proyek ini masih aktif. Setelah mengunjungi kerabatnya yang bekerja dan tinggal di Manelek, beliau merasa tertarik untuk menggeluti bidang kehutanan dan akhirnya beliau memutuskan untuk melanjutkan studi di Jurusan Kehutanan FPPK Universitas Cenderawasih. Dan masih banyak lagi putra asli dari wilayah ini yang tidak dapat diceritakan satu per satu yang boleh berhasil saat ini dengan adanya kegiatan di Kawasan Hutan Bariat pada masa pemerintahan belanda.
Sejalan dengan waktu, berbeda pengambil kebijakan berbeda pula wajah dari kawasan hutan ini, kalau dulu Ia dapat menjanjikan senyum manis sekarang apakah ada tetesan air mata pertanda kesedihan yang ditampakkan kepada pemiliknya? jawabnya tidak, karena Ia masih menyimpan paras cantiknya di balik cadar kebijakan yang ada sekarang. Tantangan bagi kita sebagai ilmuwan dan para pengambil kebijakan untuk mampu membuka cadar kebijakan yang ada sekarang agar paras cantiknya dapat tersenyum manis lagi.
Ucapan terima kasih kepada bapak Kareth (Kepala Kampung Bariat), Bapak Tigore (Pensiunan RPH Bariat) dan Bapak Silas Saa (Mantan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong Selatan) yang sudah sekian lama menyimpan secarik catatan koyak ini. [NM]
No comments:
Post a Comment