Hutan Adat Bariat (foto : kphp sorsel) |
Sorong Selatan - Wilayah semenanjung bariat dan sekitarnya ditempati oleh 5 dari sejumlah klen yang tergolong dalam suku Tehit, seperti Afsia, Gemna, Nakna dan Yaben. Wilayah adat Kampung Bariat dimiliki oleh klen afsia yang terdiri dari beberapa marga seperti, Kareth, Kemerai tua, Kamerai muda, Sawor, Konjol dan Komendi.
Patay (2005), menyebutkan bahwa di Papua sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas masyarakat adat adalah berdasarkan komunal menurut gabungan klen dan komunal menurut kelompok marga. Pada sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas adat ini mengganggap bahwa tanah, hutan dan air merupakan milik masyarakat adat yang diatur oleh pemimpin adat berdasarkan aturan adat yang dianutnya.
Pada sistem pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam kelompok marga mengangap bahwa tanah, hutan dan air adalah milik marga yang diwariskan turun-temurun pada suatu marga dalam klen. Kedua sistem kepemilikan tersebut memiliki hak mereka berdasarkan dua tipe perolehan kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, yaitu (1) berdasarkan penemuan pertama suatu wilayah oleh suku/marga tertentu dan (2) berdasarkan pewarisan kepada keturunan atau hibah. Mampioper (2002) dalam Patay (2005), menjelaskan bahwa suku atau marga yang pertama kali datang dan bermukim di suatu tempat dengan seluruh wilayah yang dijelajahinya menjadi milik suku/marga pemukim pertama tersebut. Mereka memiliki hak atas tanah dan seluruh sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Kelompok suku atau marga lain yang datang kemudian dan bermukim bersama pemukim pertama dapat memanfaatkan tanah berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh pemukim pertama. Hak kepemilikan diperoleh melalui warisan, umumnya hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam diturunkan kepada anak laki-laki tertua.
Menurut penuturan beberapa tokoh adat, penguasaan wilayah adat Kampung Bariat ini berdasarkan marga yang merupakan hibah dari beberapa marga yang pertama kali bermukim dan dari klen tetangga seperti gemna dan nakna.
Pada awalnya wilayah adat ini telah ditempati oleh marga kamerai atau moyangnya yang disebut “kemanrane” yang artinya “tapak kaki tidak kelihatan”, karena moyang dari Kemerai ini selalu berjalan di atas lumut dan tidak meninggalkan bekas tapak kakinya. Mereka tinggal pertamakali di sungai nginggir (sekarang lokasi hutan agathis) dan tidak diketahui oleh klen tetangga seperti nakna dan gemna. Suatu saat kamanrane ketemu orang gemnase (gemna manelek yang sedang tokok sagu di simere (dusun sagu depan balai kampung bariat), mereka saling mengenal dan ikat janji untuk kepemilikan wilayah, bagian utara menjadi miliki gemnase dan bagian selatan menjadi milik kamerai dan sejak saat itu tempat ini menjadi batas kampung bariat dan manelek atau batas antara klen afsia (bariat) dan gemna.
Peristiwa ini tidak diketahui oleh nakna sehingga pada saat mereka bertemu dengan marga kareth yang datang dari klamono mereka menyerahkan wilayah ini kepada marga kareth yang secara adat membayarnya dengan manusia putih, parang laki-laki (panjang), kain timor dan asmabrani (ilmu). Karena kepemilikan wilayah bariat ini didasarkan pada marga yang diperoleh dari dua klen yang berbeda, maka hingga saat ini ada beberapa tempat yang belum disepakati untuk dimiliki oleh salah satu marga dan masih dimiliki bersama oleh marga kamerai dan kareth. Setelah itu datang beberapa marga seperti sawor, kamerai kecil, konjol dan komendi dan kemudian mendapat hibah kepemilikan sebagian wilayah untuk bermukim dan mencari nafkah. Berdasarkan kesepakatan secara turun-temurun ada beberapa tempat yang dicadangkan untuk dimiliki dan mencari nafkah bersama.
Seperti halnya dalam kepemimpinan adat, hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam yang saat ini berlaku adalah pola perwarisan kepada anak laki-laki tertua melalui hukum Patrineal dan Ambilineal. Anak laki-laki tertua inilah yang menjadi ketua marga dan mengatur pembagian dan pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam yang tersedia untuk keperluan hidupnya terutama untuk kegiatan meramu (ekstrasi sumberdaya alam) maupun pemanfaatan untuk kegiatan perladangan. Namun menurut tokoh masyarakat adat di Kampung Bariat, masyarakat umumnya tidak mengenal sistem kepemimpinan yang terstruktur tetapi kolektif artinya siapa saja dari anggota klen/marga dapat menjadi pimpinan asalkan dapat memenuhi kriteria seperti berjiwa pemimpin dan dapat membawah masyarakat kearah yang lebih baik. [NM]
No comments:
Post a Comment